Aji membagi kurma dengan tangan gemetar.
Rania menuangkan air teh ke gelas-gelas plastik.
Pak Hasan memimpin doa dengan suara parau.
Mbak Wati menatap bubur sumsum dalam rantangnya... seolah Dito akan muncul dari uap hangatnya.
"Buka puasa itu bukan tentang kenyang," ujar Mbak Surti tiba-tiba.
"Tapi tentang mengisi ruang-ruang kosong di antara kita."
Malam terasa lebih pekat dari biasanya. Seperti ada tangan tak terlihat yang merajut kisah mereka menjadi satu.
Aji akhirnya bicara.
"Aku dipecat dari kerja part-time, Bu... Harusnya aku kirim uang ke orang tua. Tapi sekarang, aku bahkan tak bisa bayar kos."
Mbak Wati memandangnya lama.
"Aku iri. Kau masih punya orang tua."
"Dito... anakku, dia selalu bilang ingin jadi dokter. Tapi sekarang..."
Suaranya tercekat.
Pak Hasan tiba-tiba tersedak. Matanya terpaku pada Rania.
"Cucuku... juga bernama Rania. Hilang lima tahun lalu waktu jualan apel di pasar."
Tangannya mengeluarkan dompet kulit usang, memperlihatkan foto seorang gadis kecil berbaju kuning.
"Apel ini dari mana, Nak?" tanya Mbak Surti pelan.
"Tadi ada bapak-bapak baik nawarin di pasar," jawab Rania riang.
"Katanya nanti malam aku boleh ikut dia jualan lagi."