Mohon tunggu...
asep gunawan
asep gunawan Mohon Tunggu... Pengabdi di Kabupaten Kepulauan Sula

ASN adalah jalan pengabdian, Menulis adalah jalan introspeksi pengabdian

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Satu Meja, Seribu Cerita

23 Maret 2025   03:07 Diperbarui: 23 Maret 2025   03:07 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Meja Makan (Sumber: pixels.com)

Apa arti buka puasa bagi mereka yang kehilangan?
Bagaimana rasa kolak dan teh hangat bisa menyatukan orang-orang asing dengan luka masing-masing?
.....

Langit senja di Kelurahan Sumbersari masih basah oleh gerimis. Rintik hujan menari di atas genting rumah-rumah tua, mengalir lewat talang karatan, lalu jatuh ke ember bekas cat yang diletakkan Mbak Surti di sudut teras.

Perempuan paruh baya itu berdiri di depan meja kayu panjang peninggalan almarhum suaminya. Ia menyusun piring-piring kaca berisi kurma, kolak pisang, dan tiga teko teh manis panas yang diraciknya sendiri sejak sore tadi. Meja itu sudah jadi legenda kecil di kompleks kost ini. Sejak suaminya meninggal lima tahun lalu, Mbak Surti membukanya setiap Ramadan ... untuk siapa pun yang kebetulan lewat saat azan magrib berkumandang.

"Allah yang atur tamunya," ujarnya pada tetangga yang pernah menyarankan agar ia membatasi undangan.

Hari itu, langit mendung mengisyaratkan akan datangnya cerita yang berbeda.

Tamu pertama datang pukul 17.43.

Aji, mahasiswa rantau berkaos oblong lusuh, berhenti di depan pagar. Pandangannya tertuju pada tulisan kapur di papan kayu: "Buka Puasa Gratis untuk Semua."
Perutnya keroncongan, tapi rasa malu menahannya. Dompetnya tinggal berisi recehan dua ribu rupiah ... sisa uang minggu ini.

"Masuk saja, Nak. Air tehnya masih panas," sapa Mbak Surti lembut.

Aji melepas sepatu lusuhnya dan duduk di kursi plastik. Bau kolak pisang menyambutnya hangat, matanya berkaca-kaca.

Tamu kedua: Mbak Wati.

Perempuan 32 tahun itu membawa semangkuk bubur sumsum dalam rantang besi.

"Ini... makanan favorit anak saya," katanya dengan suara serak.
Anaknya, Dito, meninggal dua pekan lalu karena demam berdarah. Sejak itu, setiap sore ia berjalan tanpa tujuan, menghindari rumah sakit tempat Dito mengembuskan napas terakhir.

Mbak Surti menerima rantang itu, jemarinya menyentuh tangan Mbak Wati yang dingin.

"Dito pasti senang melihat ibunya suka berbagi," bisik Mbak Surti.

Tamu ketiga: Pak Hasan.

Kakek pensiunan guru datang dengan langkah gontai, menggenggam foto istrinya yang meninggal setahun lalu.

"Dulu, dia yang selalu masak untuk buka puasa," gumamnya.
Kini, rumahnya hanya diisi derit lantai dan dengungan kulkas tua.

Tamu keempat datang tanpa diundang.

Rania, gadis kecil delapan tahun berbaju kuning kusam, muncul dari balik tembok tetangga sebelah rumah. Di tangannya, plastik kresek berisi tiga biji apel.

"Ini buat buka puasa, Bu," katanya polos.
Matanya berbinar, seperti bintang yang tersesat di siang hari.

Saat azan magrib berkumandang, mereka duduk melingkar di meja kayu yang retak di ujungnya.

Aji membagi kurma dengan tangan gemetar.
Rania menuangkan air teh ke gelas-gelas plastik.
Pak Hasan memimpin doa dengan suara parau.
Mbak Wati menatap bubur sumsum dalam rantangnya... seolah Dito akan muncul dari uap hangatnya.

"Buka puasa itu bukan tentang kenyang," ujar Mbak Surti tiba-tiba.
"Tapi tentang mengisi ruang-ruang kosong di antara kita."

Malam terasa lebih pekat dari biasanya. Seperti ada tangan tak terlihat yang merajut kisah mereka menjadi satu.

Aji akhirnya bicara.

"Aku dipecat dari kerja part-time, Bu... Harusnya aku kirim uang ke orang tua. Tapi sekarang, aku bahkan tak bisa bayar kos."

Mbak Wati memandangnya lama.

"Aku iri. Kau masih punya orang tua."
"Dito... anakku, dia selalu bilang ingin jadi dokter. Tapi sekarang..."
Suaranya tercekat.

Pak Hasan tiba-tiba tersedak. Matanya terpaku pada Rania.

"Cucuku... juga bernama Rania. Hilang lima tahun lalu waktu jualan apel di pasar."
Tangannya mengeluarkan dompet kulit usang, memperlihatkan foto seorang gadis kecil berbaju kuning.

"Apel ini dari mana, Nak?" tanya Mbak Surti pelan.

"Tadi ada bapak-bapak baik nawarin di pasar," jawab Rania riang.
"Katanya nanti malam aku boleh ikut dia jualan lagi."

Semua terdiam. Angin malam berubah tajam.

Pukul 21.13, setelah salat Isya, Aji menatap layar ponselnya.

"Polisi gerebek sindikat penculikan anak di Pasar Dinoyo!" serunya.
Salah satu foto anak-anak yang diselamatkan... mirip dengan Rania di dompet Pak Hasan.

Mbak Wati langsung memeluk Rania erat.

"Kau tak boleh dekat-dekat pasar lagi, ya? Ngerti?"

Pak Hasan menatap langit. Air matanya menetes ke foto istrinya.

"Kau kirimkan ini, ya? Kau kirimkan Rania untuk temani aku..."

Keesokan harinya, Mbak Surti kembali duduk di meja kayu itu.
Surat dari rumah sakit masih terselip di balik vas bunga ... diagnosis kanker stadium dua yang tak pernah ia bagikan. Tapi malam itu, ia memilih diam.

"Bu, besok kita buka puasa pakai apa?" tanya Rania ceria, kini mengenakan baju baru pemberian polisi.

Mbak Surti tersenyum.

"Kau yang bawa ceritanya, kami yang bawa makanannya."

Azan magrib kembali berkumandang.
Dan seperti biasa, tamu-tamu baru berdatangan: seorang pemulung dengan nasi bungkus, ibu muda yang menangis gugup, serta lelaki bertopi membawa setangkai mawar.

Meja kayu itu kembali penuh.

Ramadan tahun berikutnya, meja itu masih ada.
Tapi Mbak Surti telah tiada.

Yang tersisa hanyalah secarik kertas di bawah kendi tempat teh:

"Terima kasih sudah mengisi ruang sunyiku dengan cerita kalian. Lanjutkan meja ini, ya?"

Dan mereka melanjutkan.
Karena di bulan Ramadan, meja bukan sekadar tempat makan ...
ia adalah altar, tempat doa-doa yang tersembunyi akhirnya menemukan jalan pulang.

....

Sanana, 22 Ramadan 1446 H / 22 Maret 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun