Perempuan 32 tahun itu membawa semangkuk bubur sumsum dalam rantang besi.
"Ini... makanan favorit anak saya," katanya dengan suara serak.
Anaknya, Dito, meninggal dua pekan lalu karena demam berdarah. Sejak itu, setiap sore ia berjalan tanpa tujuan, menghindari rumah sakit tempat Dito mengembuskan napas terakhir.
Mbak Surti menerima rantang itu, jemarinya menyentuh tangan Mbak Wati yang dingin.
"Dito pasti senang melihat ibunya suka berbagi," bisik Mbak Surti.
Tamu ketiga: Pak Hasan.
Kakek pensiunan guru datang dengan langkah gontai, menggenggam foto istrinya yang meninggal setahun lalu.
"Dulu, dia yang selalu masak untuk buka puasa," gumamnya.
Kini, rumahnya hanya diisi derit lantai dan dengungan kulkas tua.
Tamu keempat datang tanpa diundang.
Rania, gadis kecil delapan tahun berbaju kuning kusam, muncul dari balik tembok tetangga sebelah rumah. Di tangannya, plastik kresek berisi tiga biji apel.
"Ini buat buka puasa, Bu," katanya polos.
Matanya berbinar, seperti bintang yang tersesat di siang hari.
Saat azan magrib berkumandang, mereka duduk melingkar di meja kayu yang retak di ujungnya.