Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Inner Sanctum (I), Mendung di Selatan

6 Desember 2018   07:05 Diperbarui: 6 Desember 2018   08:26 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            Lalu, sekali lagi, "TarukoPedang," darimana asal katanya? Setelah membaca syair tersebut, maka jawabannya akan terlihat dengan cukup jelas. Kata "Taruko" atau versi lain teroka adalah suatu upaya untuk membuka suatu lahan. Dari syair, dapat diketahui bahwa daerah desa dahulunya tidak lebih dari lahan hutan yang lebat. "Pedang," ya pedang. Akan tetapi bukan pedang yang biasa, karena dari syair diketahui bahwa pedang yang dimaksud adalah pedang sakti yang mampu membuka lahan hutan dengan cepat dan bersih.

            Maka, sudah dapat dipastikan bahwa desa TarukoPedang, secara historis, adalah upaya membuka lahan oleh tujuh ksatria legendaris menggunakan tujuh pedang legendaris.

***

            "Heh!!? Apa seperti itu saja?? Kurang menarik ceritanya." Sanggah Tia. "Tapi, ya, bagaimana lagi. Wacana itulah yang dapat aku simpulkan dari buku ini. Asal kau tahu, buku ini adalah buku yang menceritakan semua sejarah TarukoPedang dengan detail. Meski, ya, buku ini sudah cukup tua, tetapi masih berguna untuk manusia di masa sekarang." Jelas ketua.

            Tidak ada sanggahan lagi, semuanya terasa begitu tenang sekarang. Tia menghirup udara yang sejuk itu. Dengan merentangkan tangannya ke belakang, menjinjit kakinya, Tia menatap ke arah selatan yang semakin lama semakin hitam. Senyum simpul juga terpampang di wajahnya. Oh!!! Mengapa banyak sekali tokoh yang memiliki senyum simpul?? "Aku penasaran, apa mereka bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik, ketua??" Ketua hanya menggeleng-geleng, tidak bereaksi terlalu banyak, "Tentu saja."

***

            Angin ribut sudah mulai mengambil posisinya. Banyak kertas-kertas terbuang yang berterbangan di langit. Udara yang awalnya sejuk, sekarang berubah drastis menjadi dingin. Tidak ada seorang pun di luar. Oh, tidak juga. Ada beberapa; beberapa pasukan dan beberapa orang dewasa. Anak muda?? Tidak diperbolehkan keluar. Anak kecil?? Sudahlah. Pintu jendela yang belum tertutup lontang-lantung dihajar hembusan angin yang semakin menggila. Beberapa ibu-ibu terlihat rusuh ingin menutup pintu-pintu jendela yang babak-belur itu. Sementara di beberapa rumah, terdengar beberapa suara tangisan yang memekakkan telinga. Selebihnya hanya ada keheningan.

            "Ayah, mengapa langit di selatan terlihat begitu kelam??? Tidak pernah terjadi sebelumnya yang seperti ini kan??" tanya Cantika. Dia terlihat begitu ketakutan, dengan erat dia mendekap ayahnya. "Tidak ada yang tahu, Nak. Ayah telah meminta setiap penduduk desa untuk bersiap-siap. Jangan khawatir, kita semua kuat. Terlepas dari pertentangan antar kelas kita selama ini, kita sebenarnya kuat." Itulah beberapa kata untuk menenangkan Cantika.

            "Yah, apa benar itu adalah mendung biasa?? Tidak pernah terlihat yang seperti itu sebelumnya. Aku takut sekali, jika seluruh negeri ini hancur. Bisa jadi kita turun kelas, kita jadi kere. Aku tidak mau!!! Sudah susah payah mengumpulkan uang, kerja lembur bagai kuda, jika akhirnya harus berakhir seperti ini." Gelisah ibu Cantika. Berkali-kali dia mengucapkan kata-kata mencak itu. Awalnya tidak terlalu dipedulikan oleh ayah Cantika. Akan tetapi, lama-lama jadi kesal juga bapak itu.

            "Sudahlah, jangan memperburuk keadaan. Apa lebih berharga bagimu rumah ini, kebun bunga di depan, kios yang ada di pasar dan uang yang melimpah dibandingkan keselamatan dari jiwa Cantika, jiwaku, bahkan jiwamu sendiri??? Ayolah, jangan bersikap naif seperti itu. Jika kau mati, apa uang itu akan menemanimu?? Tidak!! Palingan kau akan dibakar bersamaan dengan pakaian terakhir yang kau gunakan." Bentak ayah Cantika.

            Cantika semakin tertekan secara mental. Dia masih terlalu muda untuk menyaksikan langsung pertengkaran kedua orang tuanya. Apalagi berstatus sebagai anak orang kaya, setidaknya dia tidak pernah merasakan kesusahan sebelumnya. Berbeda dengan beberapa anak laki-laki kaya yang dikirim untuk latihan bela diri. "Sudah, cukup!!!" teriak Cantika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun