Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Inner Sanctum (I), Mendung di Selatan

6 Desember 2018   07:05 Diperbarui: 6 Desember 2018   08:26 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            "Ini dia!!! Ini dia !!! Ini dia!!!" Itulah yang dikatakan oleh tetua ningrat itu. Mengatakan hal yang sama sebanyak tiga kali, dan selama itu juga dia menunjuk-nunjuk ke arah Parmin. "Ini yang aku sesalkan dari konsil tetua bodoh ini. Karena kebanyakan berasal dari kalangan miskin yang bodoh, kalian semua hanya bergantung kepada ramalan atau nujum. Apa maksudnya ini?? Kalian pikir kalian bisa mengerjakan pekerjaan kenegaraan hanya bermodalkan hal-hal tidak terukur itu?? Tidak mungkin!!! Sekali lagi aku tegaskan, tidak mungkin!!!" Mencak orang itu sembari menghentak-hentak lantai balai.

            Tindakannya memang tidak sopan. Perkataan, mungkin dia menganggapnya sebagai suatu kritikan, yang tajam itu memang membuat dada para tetua lain menjadi sesak. Wajah tetua lain, yang awalnya masih bersih dan tenang, sekarang menjadi sirah dan diliputi rasa amarah yang luar biasa.

            "Jika memang itu katamu, maka, aku bertanya: Apa solusimu atas semua ini?? Omong kosong yang kau sebut sebagai ilmu pengetahuan itu?? Kalau begitu, mana?? Mana kontribusi solusimu itu terhadap penyelesaian masalah kita ini?? Selama ini kau hanya bisa mengekor pendapat kami, sedikit-sedikit memberikan pendapat yang tidak ada relevansinya. Apa itu yang disebut sebagai ilmu pengetahuan?? Kau mengatakan hal itu adalah sesuatu yang terukur dan baku. Tetapi, apa penjelasan seperti itu bisa meruntuhkan ketergantungan kami terhadap apa yang kau anggap sebagai sesuatu yang kuno itu (nujum dan ramalan). Sudahlah, berpikir lah seperti kebanyakan orang berpikir. Jika kau berusaha menjadi seorang pembaharu, maka jelaskanlah dengan baik dan runut. Kami ini hanya generasi tua, butuh sedikit usaha untuk meyakinkan kami. Apalagi masyarakat biasa, entah itu kaya atau miskin, lebih sulit lagi dikonversi."

            Yang berbicara kali ini adalah seorang tetua yang sering dianggap sebagai yang paling pandai daripada yang lima. Berpakain layaknya seorang petani, akan tetapi tidak seperti Parman dan Parmin yang lebih kuno gaya berpakaiannya. Orang-orang tidak mengetahui namanya secara langsung, bahkan di antara para tetua yang lain. Yang ada adalah, bahwa kebanyakan orang memanggilnya dengan sebutan "Tetua." Iya, itu saja. Sederhana dan cukup mewakili. Usianya memang yang paling tua, tetapi sekali lagi tidak ada yang tahu usia sebenarnya dari orang itu.

            "Jangan bertindak jemawa. Ingat!!! Ini adalah forum yang sakral. Tidak semua orang bisa mendapatkan posisi tetua ini. Dirimu harus kembali mengingatnya, yang pantas menjadi bagian dari konsil tetua ini adalah kakakmu. Dia lebih bijak dan lebih berwibawa daripada dirimu, seorang semenjana yang beruntung berkat kekayaan dari kedua orang tuamu. Kami memang berhutang banyak kepada mereka. Banyak di antara pemikiran-pemikiran kami didukung oleh kedua orang tuamu itu, terutama dari segi bantuan dana. Dan kau juga harus ingat, pemanjaan dirimu oleh kedua orang tuamu  yang berujung kepada kenaikanmu menjadi bagian dari konsil tetua, hal itu berakibat buruk terhadap kesehatan jiwa kakakmu. Dia menghilang tidak berapa lama setelah kenaikanmu, kemudian..." belum sampai Tetua menyelesaikan pembicaraannya, tetua yang muda itu menyela, "Sudah, cukup!!! Maafkan saya jika saya jemawa. Tapi, saya mohon maaf. Kali ini saya tidak bisa menolerir penolakan saya terhadap pemikiran tuan-tuan sekalian. Sekali lagi, saya mohon maaf. Akan tetapi, saya tidak bisa melanjutkan pembicaraan ini lagi. Saya tidak ikut di dalam perumusan penyelesaian kali ini. Meski demikian, saya tetap memegang tanggung jawab. Baik buruknya keputusan itu, bagaimanapun juga, saya akan menerima konsekuensinya. Sekian."

            Tetua muda itu, dengan mata yang sudah berair, berjalan meninggalkan balai desa yang sekarang terasa begitu memilukan itu. "Dia sebenarnya berbakat. Hanya saja, ya, tidak bisa mengontrol emosinya yang cetek itu." Komentar Parman. Para tetua yang lain hanya bisa mengangguk.

            "Baiklah. Sekarang kita kembali ke pembahasan awal kita. Bagaimana saudara-saudara sekalian?? Apakah kita harus menuju sang ahli ramalan??" tanya Tetua. Tidak ada respon untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya, "Ya, tidak ada pilihan lain lagi. Toh, alternatif ilmu pengetahuan yang ditawarkan oleh anak muda tadi tidak menguntungkan kita sedikitpun. Tidak ada bantahan, menemui sang ahli ramalan adalah keputusan terakhir," pungkas Parman. Sekali lagi, para ketua yang tersisa hanya menangguk-angguk.

            "Baiklah. Dengan begini saya menyatakan bahwa diskusi kita telah selesai. Kita tidak menghasilkan penyelesaian. Akan tetapi penyelesaian itu akan dikonsultasikan lebih lanjut kepada sang ahli ramalan."

            Tok... tok... tok...

***

            Sebuah tenda, ya, sebuah tenda telah didirikan di salah satu bukit yang mengitari TarukoPedang. Ah, itu bukit yang di sisi utara. Siapa mereka, maksudnya, siapa yang mendirikan tenda tersebut?? Apa ada penjelajah lain yang datang??? Tapi, bagian utara bukanlah bagian yang lazim dimanfaatkan sebagai wilayah pariwisata. Tidak ada pemandangan yang tipikal, hutannya pun cukup lebat dan sulit dijamah oleh tenaga tidak terampil. Dan yang lebih lagi, itu berdekatan dengan salah satu hutan larangan bagi masyarakat TarukoPedang. Sekali lagi, siapa yang berani menginjakkan kakinya di hutan tersebut??

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun