Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Inner Sanctum (I), Mendung di Selatan

6 Desember 2018   07:05 Diperbarui: 6 Desember 2018   08:26 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            Kedua orang tua Cantika hanya menunduk, malu. Bisa-bisanya mereka bertengkar dari masalah kecil ini. Memang benar, seharusnya mereka (orang tua Cantika) mengkhawatirkan keselamatan jiwa gadis mereka dan jiwa mereka sendiri, bukan sekedar harta kekayaan. Cukup canggung malam itu jadinya.

            "Sudahlah, tidak perlu dipermasalahkan lagi. Ayo, kita tidur bersama-sama di sini." Kata Ayah Cantika.

            Tempat tidur Cantika cukup luas sebenarnya, bisa memuat dua orang dewasa. Awalnya tempat tidur itu dibeli sebagai pertimbangan bahwa Cantika akan memiliki adik di masa depan. Akan tetapi, takdir berkata lain. Ibunya kesulitan untuk mendapatkan anak kedua. Kalau tidak salah, mengandung dan melahirkan Cantika bagaikan suatu ujian kehidupan yang begitu berat dan sangat traumatis bagi Ibu Cantika. Ahli ramal memang telah mengatakan bahwa Cantika adalah satu-satunya anak di rumah itu. Dan kelak dia akan memiliki pendamping hidup yang mampu mengubah wajah "desa." Berbekal hal itulah, pada akhirnya, kedua orang tua Cantika berusaha membesarkan Cantika sekuat tenaga, melupakan sejenak kegagalan mendapatkan anak kedua.

            "Selamat tidur, Pa, Ma."

***

            Arto dan Amin menunggangi kuda dengan sangat cepat, segera mereka menyusul ke tempat yang tadinya mereka curigai. "Lihat!!! Apa itu, mereka terlihat begitu gelap. Bahkan lihat juga langitnya, juga ikutan gelap!!!" teriak Arto histeris. Amin juga tidak bisa berkata apa-apa pada saat itu. Bahkan kuda-kuda yang mereka tunggangi juga memberontak. Berkali-kali kuda itu berusaha meninggalkan tempat itu dengan melompat-lompat liar. Arto dan Amin tidak bisa lagi menguasai keadaan, mereka terjatuh. Sebelum kuda-kuda itu berlarian ke arah sebarang, Amin sempat menyusul ke arah kudanya dan membisikkan sesuatu, "Segera pergi ke TarukoPedang. Kembalilah ke para tetua." Kemudian dia menepuk ekor kuda itu.

            "Keadaan semakin memburuk, Arto. Kita harus memastikan sendiri."

            "Ya, tidak ada jalan lain. Kedua pedang kita telah aku asah tadi. Aku bisa menjami ketajamannya. Setidaknya, kita harus menghabisi beberapa pasukan secara diam-diam. Di depan adalah hamparan rumput teki yang tinggi. Mereka (pasukan itu) tidak akan menyadari kita ketika kita bersembunyi. Segera kita serang ketika mereka mendekat. Dan tentu, setelah itu mereka akan mencicang kita, atau mungkin saja mereka akan menggulai kita. Apa kau sudah siap, Amin??"

            "Tentu saja, Arto. Mati ketika menjalankan tugas adalah impian seorang prajurit sejati."

            Arto tidak lagi membalas. Wajahnya tersenyum, tidak menyangka bahwa hidupnya akan segera berakhir bersama dengan orang ini juga, teman sebaya yang telah menemaninya selama ini.

            "Wah, wah, wah. Kalian dari dahulu memang sangat akrab ya?? Baiklah, sebelum kalian menghadapi pasukan yang banyak itu, bagaimana kalau kalian mencoba peruntungan kalian mengalahkan aku dahulu??"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun