Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Inner Sanctum (I), Mendung di Selatan

6 Desember 2018   07:05 Diperbarui: 6 Desember 2018   08:26 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            Arka dan pengembara yang muda terlihat begitu bahagia, mata mereka terlihat bersinar bercampur nafsuan, ingin segera menyantap sop tomat panas itu. Segera, dengan cepat sekali, tangan mereka berdua menjangkau mangkuk sop tomat yang sedari tadi mereka incar. Air liur telah membasahi mulut mereka, nafsu makan mereka tidak bisa dibendung lagi. Dan dengan serentak, mereka mengatakan, "Selamat makan!!!"

            Akan tetapi, sekali lagi, si pengembara yang tinggi tidak terlalu bereaksi. Datar saja, seakan-akan tidak terjadi apa-apa di ruangan itu. Namun kali ini, keanehan ini tidak lagi dihiraukan oleh Arka. Setidaknya, mungkin, karena dua hal: pertama, Arka telah mengetahui keanehan ini dari pembicaraan tadi. Jadi, istilahnya, dia tidak lagi terkejut. Kedua, rasa penasaran dikalahkan oleh rasa lapar yang sekarang berusaha dipadamkan dengan memakan sop tomat secepat-cepatnya. Memang benar, antara Arka dengan pengembara yang pendek itu seperti terlihat mereka berpacu siapa yang paling cepat habis memakan sop tomat itu.

            "Nak, ayo makan dulu. Nanti kau lanjutkan lamunan itu. Melamun pun juga butuh energi, bukan? Jangan terlalu dalam melamun, sampai-sampai kau melupakan hal yang lebih penting, yaitu makan. Makanlah! Setidaknya dengan memakan sop tomat ini, kau memiliki tambahan tenaga untuk bisa melamun lebih dalam lagi." Nasehat nenek Nyon. Tangannya yang sudah tua meletakkan mangkuk sop tomat ke hadapan pengembara pendiam itu. Dia terkejut, karena tidak biasanya ada nenek tua seperti itu.

            "Terima kasih," jawabnya singkat. Wajahnya yang terlihat begitu kaku sedari tadi, sekarang terpampang senyuman di wajahnya. Arka hanya termenung melihat itu, sementara pengembara yang pendek terkejut.

            "Nah, begitulah seharusnya. Ayo, kita nikmati sop tomat ini bersama-sama."

***

            Balai desa terlihat begitu heboh, para tetua yang berjumlah lima orang itu heboh berdebat satu sama lainnya. Entah apa yang mereka perdebatkan, yang jelas, semenjak kedatangan Parman dan Parmin, suasana yang awalnya santai itu berubah menjadi suatu manifestasi dari badai perdebatan.

            "Ini bukanlah sesuatu yang bisa dihasilkan oleh alam!!! Energi gelap terasa begitu kuat di sekitaran daerah selatan. Kita menghadapi sesuatu yang serius. Hal ini tidak bisa diremehkan!!!" argumen seorang tetua yang memakai topi runcing.

            "Jika memang benar ini bukanlah dihasilkan dari sesuatu yang alamiah, apakah kau bisa menjelaskan apa penyebab sebenarnya dari mendung itu?? Apa sebenarnya kita menghadapi suatu 'kekuatan' lain, atau bagaimana?? Jangan hanya mencak-mencak di sini! Kita membutuhkan solusi cerdas untuk menyelesaikan permasalahan ini." Tandas tetua lain, kelihatannya dia yang paling muda. Rambutnya belum sepenuhnya beruban dan pakaiannya mengikuti model para kalangan kaya masa kini.

            "Tenang semuanya. Kita di sini adalah untuk mencari solusi terbaik terhadap permasalahan ini. Aku mohon sekali, jangan memperuncing ketidaksepakatan antara kita sendiri. Jika kita saja sekacau ini, apalagi para masyarakat yang bergantung sepenuhnya dari kita. Kita di sini bertindak sebagai yang paling bijak di antara mereka. Jika kita saja tidak bisa mendinginkan kepala kita sendiri, lebih baik pertemuan ini dibatalkan terlebih dahulu. Saya mohon, kita harus menyelesaikan permasalahan ini dengan penyelesaian terbaik. Jangan sampai seperti yang sudah-sudah, ketika penyelesaian telah disepakati bersama di balai ini, di luar ada beberapa di antara kita yang menolak secara sepihak. Hal itu sangat lucu, sekaligus menyedihkan. Kita, para tetua, sejatinya adalah perwujudan dari masyarakat TarukoPedang yang arif dan bijaksana. Ayo, segera kita selesaikan permasalahan ini dengan baik dan berpikiran terbuka." Saran Parmin.

            Suasana ternyata tidak berubah, keadaan justru semakin buruk. Tetua termuda merasa bahwa konsil ini begitu mentok terhadap peraturan dan tata cara lama. Lebih dari itu, dia mengganggap bahwa keberadaan empat tetua lain, yang notabenenya berasal dari golongan miskin, adalah suatu noda yang tidak bisa dimaafkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun