Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Inner Sanctum (I), Mendung di Selatan

6 Desember 2018   07:05 Diperbarui: 6 Desember 2018   08:26 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            "Lihat!!! Tidak biasanya daerah selatan mengalami mendung. Apa ada sesuatu yang aneh terjadi?? Apa ada sesuatu yang luput dari pengamatan kita selama ini?" tanya seorang petani yang baru pulang dari sawah yang dia garap.

            "Entahlah, jika pengakuanmu itu benar, maka ini benar-benar aneh. Selama ini daerah ini tidak pernah menerima hujan dari selatan, apa ada sesuatu yang ganjil sedang terjadi?" respon seorang remaja desa.

            Berita mendung di selatan ini menjadi sangat heboh, atau viral. Daerah pinggiran desa yang biasanya sepi, sekarang dikerumuni oleh masyarakat, baik dari kalangan kaya ataupun dari kalangan miskin. Semua menengok ke arah selatan itu; jika biasanya yang terlihat hanya pemandangan langit biru lepas, dengan beberapa figur perbukitan di sebelah kiri, sekarang terlihat begitu gelap. Awan hitam yang datang bergerumul itu, sepertinya tidak bisa dibedakan lagi antara bagian langit yang masih cerah dengan yang tidak.

            "Hey!! Lihat !!! Bukankah itu sedikit aneh?? Maksudku, mengapa mendungnya terlalu pekat seperti itu?? Seakan-akan langit telah dicat hitam oleh Tuhan?? Apa yang sebenarnya membuat langit begitu gelap??" tanya seorang warga.

            "Ah, aku baru ingat. Nenek ku dulu pernah berkata, bahwa daerah sini dahulunya adalah sarang dari para naga. Para naga begitu kuat, bahkan bisa menggelapkan langit yang cerah, mereka mencurinya cahayanya!!! Bahkan..." sebelum seorang petani menyelesaikan narasinya, seorang yang kaya menyela, "Hei!!! Jangan bawa-bawa mitor nenekmu yang miskin itu sekarang!!! Yang penting adalah, maksudku, kita harus segera mempersiapkan diri. Sepertinya awan hitam itu akan membawa suatu badai yang cukup besar. Baik dari pihak kami (orang kaya) maupun dari pihak kalian (orang miskin), harus mempersiapkan kesiapan dari daerahnya masing-masing. Kami (orang kaya) akan berusaha agar rumah dan kebun-kebun bunga kami tidak rusak oleh terpaan badai itu. Sementara kalian (orang miskin) harus menjaga daerah kalian agar tidak tenggelam oleh banjir yang semakin dalam setiap tahunnya."

            Usulan itu didengar dan dipahami dengan baik oleh semua orang. Semuanya bersorak-sorak, seakan-akan yang memberi ide itu adalah manusia terbaik dan terpintar se-dunia. "Ayo, segera ke tempat masing-masing. Jangan sampai kita lengah, sehingga dihapuskan oleh badai yang mungkin akan menyerang kita."

            "Ya!!!"

            "Ah, lihatah orang-orang itu, Parman. Tidak biasanya antara pihak yang kaya dengan pihak yang miskin bisa bekerjasama seperti itu. Apa kali ini batasan kasta itu sudah mulai longgar?? Atau apakah orang-orang miskin itu sudah tidak mempedulikan lagi tuntutan gaji mereka setelah sekian lama diperdebatkan? Bagaimana menurutmu?"

            Dua orang tetua terlihat berada tidak jauh dari kerumunan massa. Tenggot mereka yang panjang selalu mereka elus sedari tadi. Mungkin supaya kelihatan bijak. Pakaiannya juga lebih kuno daripada pakaian orang-orang sekarang. Meski pakaian mereka lebih mirip pakaian para petani, menggunakan tunic lengkap dengan tudung kepalanya. Biasanya mereka hanya menghabiskan antara di perpustakaan desa atau di balai desa. Kali ini, sepertinya mereka ingin turun gunung, mengamati langsung aktifitas para warga. Kali ini, secara kebetulan, warga sibuk mempermasalahkan keadaan alam yang sedikit berbeda dari apa yang selama ini mereka pahami.

            "Entahlah, Parmin. Yang jelas, menurutku pemikiranku, para warga itu tidak lain hanya ingin mempertahankan aset mereka masing-masing. Buktinya masing-masing dari mereka hanya peduli dengan rumah atau kebun atau wilayah perumahan mereka masing-masing. Tidak ada kerjasama, meski upaya yang dilakukan terkesan bersama-sama." Tandas Parman.

            Parmin hanya tersenyum, dia telah menduga bahwa Parman akan memberikan jawaban seperti demikian. Nama mereka memang rada mirip, akan tetapi, sebenarnya mereka bukanlah saduara kandung. Secara kebetulan, tanggal lahir mereka sama dan nama mereka hanya berbeda oleh satu huruf vokal saja. Suatu kebetulan yang tiada tara. Sedari kecil, mereka selalu berdiskusi berdua dan menyelesaikan beberapa masalah desa bersama.

            "Bukanlah sebuah kesalahan jika alam menjodohkan kita sebagai pemikir untuk desa ini, Parman. Tanpa keberadaan kita, para tetua, desa ini akan hilang keberadaan oleh gerusan perubahan zaman. Apalagi ide untuk membuka desa ini sebagai tujuan plesiran berasal dari kepalamu yang cemerlang itu. Kami, para tetua dan para warga desa, seharusnya banyak-banyak berterima kasih kepadamu. Bahkan, kalau kau mau, kami bisa saja mengadakan suatu pesta khusus untukmu. Akan tetapi, juga seperti dirimu yang biasanya, yang menjauh dari segala bentuk ketenaran dan kemahsyuran. Sederhana memang dirimu ini."

            Parman tidak terlalu banyak bereaksi. Baginya, pujian dari Parmin adalah sebuah penghargaan yang sepatutnya diterima secara sederhana. Cukup tersenyum ke arah Parmin. Semua rasa terima kasih Parman atas pujian itu, rasanya semuanya telah tersampaikan.

            "Ayo, kita kembali ke balai desa." Pungkas Parman.

***

            Dengan demikian, akhirnya, kedua pengembara itu bisa merasakan kehangatan dari tempat perapian kedai nenek Nyon.

            "Syukurlah. Akhirnya kita merasakan kehangatan setelah beberapa lama, Kakak!" ucap pengembara yang lebih rendah.

            "Iya, pada akhirnya, kita memiliki tempat untuk berteduh."

           Arka tetap kebingungan melihat kedua pengembara itu. Mereka terlihat muda dan bertubuh kekar. Tetapi, mengapa masih bisa merasakan kedinginan di tengah udara malam??

            "Apa orang bertubuh kekar seperti om-om ini juga bisa merasakan kedingingan?? Bukannya tubuh kalian kuat dan tahan banting?? Guruku di sekolah mengatakan hal seperti itu sih, ketika aku masih sekolah dulu." Tanya Arka dengan polosnya.

            Pengembara yang lebih tinggi keheranan, bocah yang satu ini memang aneh, sangat aneh malahan. Untuk apa menanyakan hal seperti itu?? Rasanya tidak penting saja. Bukannya merasakan perbedaan suhu itu adalah hal yang wajar?? Apalagi karena manusia berdarah panas, memiliki suhu tubuh yang tetap, jika merasakan perbedaan maka cenderung untuk mencari cara agar suhu tubuhnya normal lagi. Rasa-rasanya hal itu tidak ada kaitannya dengan postur tubuh seseorang. Mungkin saja orang yang gendut cenderung lebih mudah merasa panas dikarenakan akumulasi lemak di tubuhnya. Tapi, apa itu memang benar?? Memusingkan.

            "Ah, hmm, merasakan kedinginan juga manusiawi, anak muda. Meski kami kekar, bukan berarti kami tahan banting di segala medan." Ungkap pengembara yang pendek.

            "Dasar, guruku di sekolah berarti sok tahu. Kok bisa jadi guru ya, orang itu?? Terkadang apa-apa yang diajarkannya di kelas terasa aneh dan tidak masuk akal. Malahan aku sering dimarahi ketika aku bertanya kebenaran dari perkataannya itu. Jadi, apa aku salah, tuan pengembara??"

            "Wah, itu cukup keterlaluan sih, guru kamu itu. Tapi, kamu juga tidak boleh terlalu memberontak terhadap orang itu. Walau bagaimanapun, dia itu masih berstatus sebagai 'guru,' orang yang mendidik kamu. Tapi, kamu sudah tidak sekolah lagi ya??" ucap pengembara yang lebih pendek.

            "Tidak, aku tidak bersekolah lagi." Jawab Arka jutek.

            "Mengapa demikian?? Rasanya rugi kan, kalau tidak sekolah??"

            "Ya, mau gimana lagi. Di desa ini, yang pantas bersekolah hingga level tertinggi hanya mereka yang berasal dari keluarga kaya. Sementara kami yang miskin ini, ya, sekolah hingga usia 10 tahun saja sudah cukup. Aneh? Iya. Tapi, ya, mau bagaimana lagi." Tandas Arka jutek.

            Sementara Arka dan pengembara yang pendek asyik berbincang-bincang, pengembara yang satu lagi terlihat muram dan hanya memandang ke arah perapian sedari tadi. Padahal dia duduk di samping Arka, suatu hal yang mudah baginya jika ingin membuka pembicaraan atau bergabung dengan pembicaraan yang telah ada. Tetapi, dia tidak terlau menghiraukan. Perumpamaannya, seakan-akan tubuh orang itu ada di kedai itu, akan tetapi jiwanya terbang entah kemana.

            Dan hal itu telah disadari oleh Arka sedari tadi. Entah mengapa, suara Arka yang keras dan bersemangat itu tidak menarik perhatian dari pengembara tinggi itu. Padahal, sebelum-sebelumnya, tidak ada satupun orang yang sanggup jutek terhadap semangat yang Arka perlihatkan ketika berbicara. Dan hal itu cukup mengganggu bagi Arka, yang notabenenya adalah  seorang yang nyinyir. Beberapa kali dia melihat orang itu, tapi tidak ada respon sedikitpun dari dia.

            "Hahaha, aku paham. Kakak ku ini memang tipikal orang yang sangat pendiam. Bukan kaleng-kaleng diamnya. Berbeda dari orang lain yang pendiam juga tetapi masih bisa menyesuaikan dengan lingkungan yang ribut, Kakak ku ini benar-benar tidak menghiraukan keadaan sekitar. Yang jelas, dia tidak pekak, ya. Akan tetapi, ya, begitulah." Jelas pengembara yang pendek.

            Arka hanya mengangguk-angguk. Apa ada ya orang seperti itu?? Aneh-aneh saja dunia ini.

             Pintu dapur terbuka, terlihat nenek Nyon keluar sembari membawa baki kayu dengan empat buah mangkuk berisi sop tomat panas di atasnya. Wajah nenek Nyon selalu tersenyum, meski sebenarnya dia juga merasa rada capek malam hari itu.

            "Silahkan semuanya, kita harus mengisi tenaga kita kembali, bukan? Ini, aku sengaja menbuat sop tomat yang baru, khusus untuk kita saja. Silahkan, jangan malu-malu, ambil saja."

            Arka dan pengembara yang muda terlihat begitu bahagia, mata mereka terlihat bersinar bercampur nafsuan, ingin segera menyantap sop tomat panas itu. Segera, dengan cepat sekali, tangan mereka berdua menjangkau mangkuk sop tomat yang sedari tadi mereka incar. Air liur telah membasahi mulut mereka, nafsu makan mereka tidak bisa dibendung lagi. Dan dengan serentak, mereka mengatakan, "Selamat makan!!!"

            Akan tetapi, sekali lagi, si pengembara yang tinggi tidak terlalu bereaksi. Datar saja, seakan-akan tidak terjadi apa-apa di ruangan itu. Namun kali ini, keanehan ini tidak lagi dihiraukan oleh Arka. Setidaknya, mungkin, karena dua hal: pertama, Arka telah mengetahui keanehan ini dari pembicaraan tadi. Jadi, istilahnya, dia tidak lagi terkejut. Kedua, rasa penasaran dikalahkan oleh rasa lapar yang sekarang berusaha dipadamkan dengan memakan sop tomat secepat-cepatnya. Memang benar, antara Arka dengan pengembara yang pendek itu seperti terlihat mereka berpacu siapa yang paling cepat habis memakan sop tomat itu.

            "Nak, ayo makan dulu. Nanti kau lanjutkan lamunan itu. Melamun pun juga butuh energi, bukan? Jangan terlalu dalam melamun, sampai-sampai kau melupakan hal yang lebih penting, yaitu makan. Makanlah! Setidaknya dengan memakan sop tomat ini, kau memiliki tambahan tenaga untuk bisa melamun lebih dalam lagi." Nasehat nenek Nyon. Tangannya yang sudah tua meletakkan mangkuk sop tomat ke hadapan pengembara pendiam itu. Dia terkejut, karena tidak biasanya ada nenek tua seperti itu.

            "Terima kasih," jawabnya singkat. Wajahnya yang terlihat begitu kaku sedari tadi, sekarang terpampang senyuman di wajahnya. Arka hanya termenung melihat itu, sementara pengembara yang pendek terkejut.

            "Nah, begitulah seharusnya. Ayo, kita nikmati sop tomat ini bersama-sama."

***

            Balai desa terlihat begitu heboh, para tetua yang berjumlah lima orang itu heboh berdebat satu sama lainnya. Entah apa yang mereka perdebatkan, yang jelas, semenjak kedatangan Parman dan Parmin, suasana yang awalnya santai itu berubah menjadi suatu manifestasi dari badai perdebatan.

            "Ini bukanlah sesuatu yang bisa dihasilkan oleh alam!!! Energi gelap terasa begitu kuat di sekitaran daerah selatan. Kita menghadapi sesuatu yang serius. Hal ini tidak bisa diremehkan!!!" argumen seorang tetua yang memakai topi runcing.

            "Jika memang benar ini bukanlah dihasilkan dari sesuatu yang alamiah, apakah kau bisa menjelaskan apa penyebab sebenarnya dari mendung itu?? Apa sebenarnya kita menghadapi suatu 'kekuatan' lain, atau bagaimana?? Jangan hanya mencak-mencak di sini! Kita membutuhkan solusi cerdas untuk menyelesaikan permasalahan ini." Tandas tetua lain, kelihatannya dia yang paling muda. Rambutnya belum sepenuhnya beruban dan pakaiannya mengikuti model para kalangan kaya masa kini.

            "Tenang semuanya. Kita di sini adalah untuk mencari solusi terbaik terhadap permasalahan ini. Aku mohon sekali, jangan memperuncing ketidaksepakatan antara kita sendiri. Jika kita saja sekacau ini, apalagi para masyarakat yang bergantung sepenuhnya dari kita. Kita di sini bertindak sebagai yang paling bijak di antara mereka. Jika kita saja tidak bisa mendinginkan kepala kita sendiri, lebih baik pertemuan ini dibatalkan terlebih dahulu. Saya mohon, kita harus menyelesaikan permasalahan ini dengan penyelesaian terbaik. Jangan sampai seperti yang sudah-sudah, ketika penyelesaian telah disepakati bersama di balai ini, di luar ada beberapa di antara kita yang menolak secara sepihak. Hal itu sangat lucu, sekaligus menyedihkan. Kita, para tetua, sejatinya adalah perwujudan dari masyarakat TarukoPedang yang arif dan bijaksana. Ayo, segera kita selesaikan permasalahan ini dengan baik dan berpikiran terbuka." Saran Parmin.

            Suasana ternyata tidak berubah, keadaan justru semakin buruk. Tetua termuda merasa bahwa konsil ini begitu mentok terhadap peraturan dan tata cara lama. Lebih dari itu, dia mengganggap bahwa keberadaan empat tetua lain, yang notabenenya berasal dari golongan miskin, adalah suatu noda yang tidak bisa dimaafkan.

            "Ini dia!!! Ini dia !!! Ini dia!!!" Itulah yang dikatakan oleh tetua ningrat itu. Mengatakan hal yang sama sebanyak tiga kali, dan selama itu juga dia menunjuk-nunjuk ke arah Parmin. "Ini yang aku sesalkan dari konsil tetua bodoh ini. Karena kebanyakan berasal dari kalangan miskin yang bodoh, kalian semua hanya bergantung kepada ramalan atau nujum. Apa maksudnya ini?? Kalian pikir kalian bisa mengerjakan pekerjaan kenegaraan hanya bermodalkan hal-hal tidak terukur itu?? Tidak mungkin!!! Sekali lagi aku tegaskan, tidak mungkin!!!" Mencak orang itu sembari menghentak-hentak lantai balai.

            Tindakannya memang tidak sopan. Perkataan, mungkin dia menganggapnya sebagai suatu kritikan, yang tajam itu memang membuat dada para tetua lain menjadi sesak. Wajah tetua lain, yang awalnya masih bersih dan tenang, sekarang menjadi sirah dan diliputi rasa amarah yang luar biasa.

            "Jika memang itu katamu, maka, aku bertanya: Apa solusimu atas semua ini?? Omong kosong yang kau sebut sebagai ilmu pengetahuan itu?? Kalau begitu, mana?? Mana kontribusi solusimu itu terhadap penyelesaian masalah kita ini?? Selama ini kau hanya bisa mengekor pendapat kami, sedikit-sedikit memberikan pendapat yang tidak ada relevansinya. Apa itu yang disebut sebagai ilmu pengetahuan?? Kau mengatakan hal itu adalah sesuatu yang terukur dan baku. Tetapi, apa penjelasan seperti itu bisa meruntuhkan ketergantungan kami terhadap apa yang kau anggap sebagai sesuatu yang kuno itu (nujum dan ramalan). Sudahlah, berpikir lah seperti kebanyakan orang berpikir. Jika kau berusaha menjadi seorang pembaharu, maka jelaskanlah dengan baik dan runut. Kami ini hanya generasi tua, butuh sedikit usaha untuk meyakinkan kami. Apalagi masyarakat biasa, entah itu kaya atau miskin, lebih sulit lagi dikonversi."

            Yang berbicara kali ini adalah seorang tetua yang sering dianggap sebagai yang paling pandai daripada yang lima. Berpakain layaknya seorang petani, akan tetapi tidak seperti Parman dan Parmin yang lebih kuno gaya berpakaiannya. Orang-orang tidak mengetahui namanya secara langsung, bahkan di antara para tetua yang lain. Yang ada adalah, bahwa kebanyakan orang memanggilnya dengan sebutan "Tetua." Iya, itu saja. Sederhana dan cukup mewakili. Usianya memang yang paling tua, tetapi sekali lagi tidak ada yang tahu usia sebenarnya dari orang itu.

            "Jangan bertindak jemawa. Ingat!!! Ini adalah forum yang sakral. Tidak semua orang bisa mendapatkan posisi tetua ini. Dirimu harus kembali mengingatnya, yang pantas menjadi bagian dari konsil tetua ini adalah kakakmu. Dia lebih bijak dan lebih berwibawa daripada dirimu, seorang semenjana yang beruntung berkat kekayaan dari kedua orang tuamu. Kami memang berhutang banyak kepada mereka. Banyak di antara pemikiran-pemikiran kami didukung oleh kedua orang tuamu itu, terutama dari segi bantuan dana. Dan kau juga harus ingat, pemanjaan dirimu oleh kedua orang tuamu  yang berujung kepada kenaikanmu menjadi bagian dari konsil tetua, hal itu berakibat buruk terhadap kesehatan jiwa kakakmu. Dia menghilang tidak berapa lama setelah kenaikanmu, kemudian..." belum sampai Tetua menyelesaikan pembicaraannya, tetua yang muda itu menyela, "Sudah, cukup!!! Maafkan saya jika saya jemawa. Tapi, saya mohon maaf. Kali ini saya tidak bisa menolerir penolakan saya terhadap pemikiran tuan-tuan sekalian. Sekali lagi, saya mohon maaf. Akan tetapi, saya tidak bisa melanjutkan pembicaraan ini lagi. Saya tidak ikut di dalam perumusan penyelesaian kali ini. Meski demikian, saya tetap memegang tanggung jawab. Baik buruknya keputusan itu, bagaimanapun juga, saya akan menerima konsekuensinya. Sekian."

            Tetua muda itu, dengan mata yang sudah berair, berjalan meninggalkan balai desa yang sekarang terasa begitu memilukan itu. "Dia sebenarnya berbakat. Hanya saja, ya, tidak bisa mengontrol emosinya yang cetek itu." Komentar Parman. Para tetua yang lain hanya bisa mengangguk.

            "Baiklah. Sekarang kita kembali ke pembahasan awal kita. Bagaimana saudara-saudara sekalian?? Apakah kita harus menuju sang ahli ramalan??" tanya Tetua. Tidak ada respon untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya, "Ya, tidak ada pilihan lain lagi. Toh, alternatif ilmu pengetahuan yang ditawarkan oleh anak muda tadi tidak menguntungkan kita sedikitpun. Tidak ada bantahan, menemui sang ahli ramalan adalah keputusan terakhir," pungkas Parman. Sekali lagi, para ketua yang tersisa hanya menangguk-angguk.

            "Baiklah. Dengan begini saya menyatakan bahwa diskusi kita telah selesai. Kita tidak menghasilkan penyelesaian. Akan tetapi penyelesaian itu akan dikonsultasikan lebih lanjut kepada sang ahli ramalan."

            Tok... tok... tok...

***

            Sebuah tenda, ya, sebuah tenda telah didirikan di salah satu bukit yang mengitari TarukoPedang. Ah, itu bukit yang di sisi utara. Siapa mereka, maksudnya, siapa yang mendirikan tenda tersebut?? Apa ada penjelajah lain yang datang??? Tapi, bagian utara bukanlah bagian yang lazim dimanfaatkan sebagai wilayah pariwisata. Tidak ada pemandangan yang tipikal, hutannya pun cukup lebat dan sulit dijamah oleh tenaga tidak terampil. Dan yang lebih lagi, itu berdekatan dengan salah satu hutan larangan bagi masyarakat TarukoPedang. Sekali lagi, siapa yang berani menginjakkan kakinya di hutan tersebut??

            "Api unggun memang menjadi bagian yang aku sukai. Apa aku boleh menyalakannya sekarang, tuan ketua??? Hari sudah semakin dingin. Lihat juga di seberang sana, di bagian selatan. Sudah sangat gelap langitnya, tidak ada harapan akan kehidupan setelah ini. Kita semua akan mati membeku. Sebelum hal itu terjadi, mengapa tidak kita berusaha untuk memanaskan tubuh kita sebentar?? Bukankah itu suatu ide yang cukup bagus??"

            Seorang anak kecil??? Ukuran tubuhnya tidak jauh berbeda daripada Arka atau Cantika. Dan juga, sebenarnya dia ini seorang pria atau wanita?? Perawakannya memang seperti wanita, hanya saja belum tumbuh payudaranya. Rambut yang dipotong sebahu itu, dengan warna pirang, tidak dimiliki oleh pria manapun. Selain itu, suaranya juga seperti suara wanita. Akan tetapi, tenaganya tidak masuk akal untuk dikategorikan sebagai seorang wanita. Bagaimana bisa dia mengangkat sebuah pohon tumbang sendiri(an)?? Apa memang ada manusia dengan tenaga sebesar itu???

            "Diam lah, Tia. Kita tidak pergi bertamasya di sini. Kita sedang menjalankan suatu misi penting. Keberadaan kita di sini adalah suatu rahasia, bunian. Jika dirimu menyalakan api unggun, maka barang pasti penduduk desa akan menyadari bahwa ada pengembara yang berani menginjakkan kaki di kawasan terlarang mereka. Jadi, bersabarlah. Rasa dingin juga tidak akan membunuhmu." Pungkas ketua.

            Tia kelihatan tidak senang, "Cih!!" tandasnya. Memang Tia adalah seorang anak manja, bukan berarti dia lembek dan lemah. "Jangan melawan seperti itu. Kau pikir hal itu akan berpengaruh?? Sia-sia saja. Bagaimanapun aku lebih kuat dibandingkan dirimu, gadis muda!!! Seharusnya kau lebih penurut, karena memang begitulah seorang gadis seharusnya. Kau seperti melawan kodratmu sendiri. Mana ada wanita seperti dirimu, dasar aneh!!! Jangan mencoba melawan alam." Perkataan ketua itu, bagaimanapun juga, sangat menjengkelkan bagi Tia. "Ya, aku pikir begitu. Akan tetapi, sebelum aku mengubah tingkah laku ku, bagaimana kalau kau mengubah cara berbicaramu terlebih dahulu, pak tua??"

            ???

            "Apa-apaan ini???"

            "Ya, anggap aja sebagai sebuah peringatan untukmu, pak tua."

            Dalam sekejab, entah bagaimana caranya, Tia telah berada di hadapan ketua dengan sebuah pisau yang diacungkan ke leher orang tua itu. Kilatan besi pisau itu, bagaimanapun juga, begitu menyeramkan untuk dilihat. Ya, walau orang tua itu tetap membaca sebuah buku dengan santai. "Apa kau tidak merasa ketakutan, ketua??" tanya Tia. Tidak ada respon, untuk sementara waktu. Ketua hanya menghela nafas dan mengatakan, "Untuk apa aku merasa gemetaran, Tia? Pisau yang kau arahkan kepadaku ini, ya, tidak begitu menyeramkan. Malahan aku merasa lucu, bocah sekecil dirimu sudah berani seperti ini. Sudahlah, tarik kembali pisaumu itu. Sudahi saja drama murahan ini."

            Tidak ada perlawanan, siapa yang superior dan siapa yang inferior sudah kelihatan jelas. Tia mundur, pisau yang tadi diacungkan ke arah ketua itu, sekarang telah beristirahat kembali di dalam sarungnya. Dan ketua, bagaimanapun juga, kembali membaca buku itu.

            "Apa kau tahu, Tia, mengapa tempat yang terhampar di hadapan kita itu disebut dengan sebutan 'TarukoPedang'???" Entah karena alasan apa, tiba-tiba ketua menanyakan hal seperti itu kepada Tia. "Tidak. Mengapa tiba-tiba kau menanyakan hal itu, ketua??" balas Tia. Seperti biasa, terdapat jeda antara jawaban yang ditunggu dengan masa awal sebuah pertanyaan diajukan. Hal ini, tidak pelak, selalu membuat Tia jengkel. "Oh, Pak tua menyedihkan. Entah bagaimana caranya aku bisa bekerja denganmu. Andai waktu bisa diulang, lebih baik aku menjadi seorang gadis lembek daripada harus menghadapi sikapmu yang macam batu itu."

            Buku yang terbuka itu, sekarang telah tertutup. Butiran debu berterbangan, suatu pertanda bahwa buku yang sedari tadi dibaca oleh ketua itu sudah tua dan sudah lama tidak dijamah. Begitu banyak debu yang berhamburan, sampai-sampai terlihat seperti cendawan asap kecil. Anehnya, ketua yang sudah mulai uzur itu tidak bersin sama sekali.

            "Sudah jelas aku pikir, Tia. Aku menanyakan hal itu sebagai suatu ujian bagimu. Apa kau memahami objek yang sedang kau teliti atau tidak." Kata ketua jutek. Tia tidak ngeh. Dia terlihat menggelengkan kepalanya. Sepertinya, kapasitas mental anak tersebut belum cukup untuk menjangkau hal semacam itu. "Sepertinya kau tidak mengetahui jawabannya. Baiklah kalau begitu, aku akan menjelaskan. Tapi tentu, kau harus mendengarkan setiap kata yang terucap dengan baik-baik."

***

            Tidak ada satupun peninggalan tertulis yang menegaskan asal dari kata "TarukoPedang." Satu-satunya yang dapat dijadikan acuan sebagai sumber sejarah dari asal-muasal nama tempat ini adalah, ya, bagaimana lagi, sebuah legenda yang menceritakan tentang tujuh orang pengguna pedang terkuat pada zaman dahulu.

            Konon, daerah ini dahulunya tidak lain dari hamparan hutan yang begitu luas dan lebat. Senjata manusia biasa tidak sanggup membuka lahan yang ada di sini. Bahkan beberapa inovasi aneh, seperti membakar hutan, juga tidak sanggup melenyapkan keperkasaan dari hutan kuno itu. Meski asapnya sudah begitu bergumul, sampai-sampai memutihkan langit dan bumi, hanya sedikit bagian yang betul-betul berubah menjadi abu. Pedang?? Tidak bisa juga.

            Lalu, darimana asal kata "TarukoPedang"?? Padahal di pengakuan sebelumnya, "pedang" pun tidak bisa mengalahkan keperkasaan hutan kuno itu. Jawabannya sederhana, dan itu terlukis di dalam beberapa syair kuno:

Lihatlah di suatu jalan

Ketika hari kegelapan

Mereka datang dengan harapan

Suatu masa yang indah rupawan

 

Tujuh orang datang berwibawa

Membawa hasrat dan suara

Tidak ada yang merintanginya

Kecuali alam yang gagah perkasa

 

Ingatlah kisah pedang tujuh

Sakti rupawan bergemuruh

Meneroka lahan yang tujuh

Melepaskan singkapan dengan guruh

            Sepertinya kebanyakan sastra lama, tidak ada yang mengetahui siapa yang menciptakan ataupun apa judul dari syair bersejarah ini. Meski demikian, tetap daa beberapa orang yang berusaha menjelaskan demi memenuhi hasrat keingintahuan. Pendapat populer bahwa syair itu diciptakan oleh tetua pertama di desa itu, ada yang mengatakan namanya Wan. Ada juga pendapat alternatif yang mengatakan bahwa yang menyusun syair itu adalah seorang cendekiawan bernama Seshat. Walau begitu, pendapat alternatif ini tidak mencantumkan periode dari penciptaan dari syair tersebut.

            Dari syair tersebut, dapat disimpulkan bahwa daerah yang sekarang disebut dengan "TarukoPedang" tidak lebih dari lahan hutan yang begitu luas. Mengapa disebut sebagai lahan yang tujuh?? Tidak ada yang bisa menjawabnya pasti. Akan tetapi, seperti yang sebelumnya, pendapat yang paling diterima bahwa yang tujuh merujuk kepada pembagian lahan yang diteroka oleh masing-masing yang ksatria yang tujuh.

            Satu hal yang menarik adalah, ada ungkapan ketika hari kegelapan. Hal ini menekankan bahwa ada suatu masa yang kelam bagi seluruh negeri, bahkan ada yang mengatakan seluruh benia. Suatu masa ketika pemeritahan yang berkuasa pada masa itu tidak begitu ramah dengan masyarakat. Bait-bait setelah ungkapan itu dianggap mewakili harapan setiap penduduk akan kedatangan pembebas yang akan membawa negeri ini menuju masa depan yang lebih baik.

            Lalu, sekali lagi, "TarukoPedang," darimana asal katanya? Setelah membaca syair tersebut, maka jawabannya akan terlihat dengan cukup jelas. Kata "Taruko" atau versi lain teroka adalah suatu upaya untuk membuka suatu lahan. Dari syair, dapat diketahui bahwa daerah desa dahulunya tidak lebih dari lahan hutan yang lebat. "Pedang," ya pedang. Akan tetapi bukan pedang yang biasa, karena dari syair diketahui bahwa pedang yang dimaksud adalah pedang sakti yang mampu membuka lahan hutan dengan cepat dan bersih.

            Maka, sudah dapat dipastikan bahwa desa TarukoPedang, secara historis, adalah upaya membuka lahan oleh tujuh ksatria legendaris menggunakan tujuh pedang legendaris.

***

            "Heh!!? Apa seperti itu saja?? Kurang menarik ceritanya." Sanggah Tia. "Tapi, ya, bagaimana lagi. Wacana itulah yang dapat aku simpulkan dari buku ini. Asal kau tahu, buku ini adalah buku yang menceritakan semua sejarah TarukoPedang dengan detail. Meski, ya, buku ini sudah cukup tua, tetapi masih berguna untuk manusia di masa sekarang." Jelas ketua.

            Tidak ada sanggahan lagi, semuanya terasa begitu tenang sekarang. Tia menghirup udara yang sejuk itu. Dengan merentangkan tangannya ke belakang, menjinjit kakinya, Tia menatap ke arah selatan yang semakin lama semakin hitam. Senyum simpul juga terpampang di wajahnya. Oh!!! Mengapa banyak sekali tokoh yang memiliki senyum simpul?? "Aku penasaran, apa mereka bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik, ketua??" Ketua hanya menggeleng-geleng, tidak bereaksi terlalu banyak, "Tentu saja."

***

            Angin ribut sudah mulai mengambil posisinya. Banyak kertas-kertas terbuang yang berterbangan di langit. Udara yang awalnya sejuk, sekarang berubah drastis menjadi dingin. Tidak ada seorang pun di luar. Oh, tidak juga. Ada beberapa; beberapa pasukan dan beberapa orang dewasa. Anak muda?? Tidak diperbolehkan keluar. Anak kecil?? Sudahlah. Pintu jendela yang belum tertutup lontang-lantung dihajar hembusan angin yang semakin menggila. Beberapa ibu-ibu terlihat rusuh ingin menutup pintu-pintu jendela yang babak-belur itu. Sementara di beberapa rumah, terdengar beberapa suara tangisan yang memekakkan telinga. Selebihnya hanya ada keheningan.

            "Ayah, mengapa langit di selatan terlihat begitu kelam??? Tidak pernah terjadi sebelumnya yang seperti ini kan??" tanya Cantika. Dia terlihat begitu ketakutan, dengan erat dia mendekap ayahnya. "Tidak ada yang tahu, Nak. Ayah telah meminta setiap penduduk desa untuk bersiap-siap. Jangan khawatir, kita semua kuat. Terlepas dari pertentangan antar kelas kita selama ini, kita sebenarnya kuat." Itulah beberapa kata untuk menenangkan Cantika.

            "Yah, apa benar itu adalah mendung biasa?? Tidak pernah terlihat yang seperti itu sebelumnya. Aku takut sekali, jika seluruh negeri ini hancur. Bisa jadi kita turun kelas, kita jadi kere. Aku tidak mau!!! Sudah susah payah mengumpulkan uang, kerja lembur bagai kuda, jika akhirnya harus berakhir seperti ini." Gelisah ibu Cantika. Berkali-kali dia mengucapkan kata-kata mencak itu. Awalnya tidak terlalu dipedulikan oleh ayah Cantika. Akan tetapi, lama-lama jadi kesal juga bapak itu.

            "Sudahlah, jangan memperburuk keadaan. Apa lebih berharga bagimu rumah ini, kebun bunga di depan, kios yang ada di pasar dan uang yang melimpah dibandingkan keselamatan dari jiwa Cantika, jiwaku, bahkan jiwamu sendiri??? Ayolah, jangan bersikap naif seperti itu. Jika kau mati, apa uang itu akan menemanimu?? Tidak!! Palingan kau akan dibakar bersamaan dengan pakaian terakhir yang kau gunakan." Bentak ayah Cantika.

            Cantika semakin tertekan secara mental. Dia masih terlalu muda untuk menyaksikan langsung pertengkaran kedua orang tuanya. Apalagi berstatus sebagai anak orang kaya, setidaknya dia tidak pernah merasakan kesusahan sebelumnya. Berbeda dengan beberapa anak laki-laki kaya yang dikirim untuk latihan bela diri. "Sudah, cukup!!!" teriak Cantika.

            Kedua orang tua Cantika hanya menunduk, malu. Bisa-bisanya mereka bertengkar dari masalah kecil ini. Memang benar, seharusnya mereka (orang tua Cantika) mengkhawatirkan keselamatan jiwa gadis mereka dan jiwa mereka sendiri, bukan sekedar harta kekayaan. Cukup canggung malam itu jadinya.

            "Sudahlah, tidak perlu dipermasalahkan lagi. Ayo, kita tidur bersama-sama di sini." Kata Ayah Cantika.

            Tempat tidur Cantika cukup luas sebenarnya, bisa memuat dua orang dewasa. Awalnya tempat tidur itu dibeli sebagai pertimbangan bahwa Cantika akan memiliki adik di masa depan. Akan tetapi, takdir berkata lain. Ibunya kesulitan untuk mendapatkan anak kedua. Kalau tidak salah, mengandung dan melahirkan Cantika bagaikan suatu ujian kehidupan yang begitu berat dan sangat traumatis bagi Ibu Cantika. Ahli ramal memang telah mengatakan bahwa Cantika adalah satu-satunya anak di rumah itu. Dan kelak dia akan memiliki pendamping hidup yang mampu mengubah wajah "desa." Berbekal hal itulah, pada akhirnya, kedua orang tua Cantika berusaha membesarkan Cantika sekuat tenaga, melupakan sejenak kegagalan mendapatkan anak kedua.

            "Selamat tidur, Pa, Ma."

***

            Arto dan Amin menunggangi kuda dengan sangat cepat, segera mereka menyusul ke tempat yang tadinya mereka curigai. "Lihat!!! Apa itu, mereka terlihat begitu gelap. Bahkan lihat juga langitnya, juga ikutan gelap!!!" teriak Arto histeris. Amin juga tidak bisa berkata apa-apa pada saat itu. Bahkan kuda-kuda yang mereka tunggangi juga memberontak. Berkali-kali kuda itu berusaha meninggalkan tempat itu dengan melompat-lompat liar. Arto dan Amin tidak bisa lagi menguasai keadaan, mereka terjatuh. Sebelum kuda-kuda itu berlarian ke arah sebarang, Amin sempat menyusul ke arah kudanya dan membisikkan sesuatu, "Segera pergi ke TarukoPedang. Kembalilah ke para tetua." Kemudian dia menepuk ekor kuda itu.

            "Keadaan semakin memburuk, Arto. Kita harus memastikan sendiri."

            "Ya, tidak ada jalan lain. Kedua pedang kita telah aku asah tadi. Aku bisa menjami ketajamannya. Setidaknya, kita harus menghabisi beberapa pasukan secara diam-diam. Di depan adalah hamparan rumput teki yang tinggi. Mereka (pasukan itu) tidak akan menyadari kita ketika kita bersembunyi. Segera kita serang ketika mereka mendekat. Dan tentu, setelah itu mereka akan mencicang kita, atau mungkin saja mereka akan menggulai kita. Apa kau sudah siap, Amin??"

            "Tentu saja, Arto. Mati ketika menjalankan tugas adalah impian seorang prajurit sejati."

            Arto tidak lagi membalas. Wajahnya tersenyum, tidak menyangka bahwa hidupnya akan segera berakhir bersama dengan orang ini juga, teman sebaya yang telah menemaninya selama ini.

            "Wah, wah, wah. Kalian dari dahulu memang sangat akrab ya?? Baiklah, sebelum kalian menghadapi pasukan yang banyak itu, bagaimana kalau kalian mencoba peruntungan kalian mengalahkan aku dahulu??"

            ???

            Siapa itu?? Kenapa dia tiba-tiba muncul??

            "Kau!!!" teriak Amin. Matanya terbelalang, urat-uratnya terlihat lebih banyak saat sekarang ini. Begitu juga Arto setelah dia membalikkan badan. "Kurang hajar!!! Kau!!!"

            "Jangan teriak-teriak, norak." Tandas orang misterius itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun