Mohon tunggu...
Aru Wijayanto
Aru Wijayanto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

.

Selanjutnya

Tutup

Politik

AS, Dari Perang Ukraina Hingga Indo-Pasifik

11 November 2022   12:17 Diperbarui: 12 November 2022   16:38 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Amerika Serikat sepertinya ingin perang panjang yang lebih besar. Ia tak ingin turun takhta.


*****

KISAH konflik antara Amerika Serikat (AS) dengan Rusia bukanlah cerita baru. Ada banyak rangkaian peristiwa yang membuat Rusia marah besar kepada AS. Karena itu, keputusan Vladimir Putin untuk melakukan operasi militer (invasi) ke Ukraina pada 24 Februari 2022 juga bukan sesuatu yang mengejutkan. Rusia, dengan beberapa Presidennya, sebenarnya sudah cukup lama bersabar dari berbagai aksi provokatif yang dilancarkan AS selama lebih dari 20 tahun belakangan.

Saya mencoba mengawalinya dari pasca Perang Dunia ke-2.

Dengan kondisi Eropa yang berantakan akibat Perang Dunia ke-2, membuat AS begitu leluasa menjadi arsitek dalam sistem politik global. Amerika menjadi inisiator pembentukan organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Dewan Keamanan PBB, hingga sistem keuangan internasional dengan melahirkan World Bank dan International Monetary Fund (IMF). Lalu dari segi pertahanan, AS membentuk organisasi NATO (North Atlantic Treaty Organization) pada 1949 dengan melibatkan anggota dari negara-negara Eropa hingga Turki. Sebuah organisasi pertahanan yang dibangun untuk mengimbangi kekuatan Uni Soviet.

Namun ketika Uni Soviet bubar, NATO tetap eksis, bahkan semakin diperkuat. Dari situlah AS menjelma sebagai sebuah negara adidaya, super power, sekaligus memiliki daya rusak luar biasa. Semua ingin dikuasai, diatur, sesuai dengan keinginan dan kepentingannya. Penguasaan atas suatu negara memang tidak lagi dilakukan dengan cara mendudukinya--atau mencaplok--secara fisik, melainkan dengan pengaturan sistem ekonomi, politik, hingga budaya. Itu yang dilakukan AS terhadap banyak negara di dunia.

Rusia pun berbenah.

Untuk menjaga wilayah bekas Uni Soviet agar tetap pada radarnya, Rusia kemudian membentuk Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS) pada tahun 1991. Perjanjian ini ditandatangani sebelas negara, yakni Rusia, Armenia, Azerbaijan, Belarus, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Moldova, Tajikistan, Turkmenistan, Ukraina, dan Uzbekistan melalui perjanjian Belavezh.

Dengan memiliki organisasi baru yang cukup menjanjikan--karena sebagian besar negara bekas Uni Soviet itu bergabung di dalamnya--Rusia merasa cukup percaya diri untuk sementara waktu. Apalagi Rusia juga mendapat janji secara lisan dari AS bahwa NATO tidak akan memperluas pengaruhnya ke wilayah Eropa Timur. Rusia percaya. Toh bagaimana pun Rusia tetap ingin memiliki pengaruh di kawasan Eropa Timur.

Tapi, janji tinggal janji.

Pada tahun 1999, NATO mengundang Polandia, Republik Ceko, dan Hungaria untuk bergabung. Tentu saja Rusia merasa dikhianati. Bagi Rusia, aksi yang dilakukan oleh NATO itu sama saja memarjinalisasi keberadaan mereka di dunia internasional. Padahal, tahun 1997 terdapat deklarasi terkait hubungan kerjama dan keamanan bersama antara NATO dan Rusia. Selanjutnya, hingga 2004, tujuh negara Eropa Timur lainnya, yakni Bulgaria, Estonia, Latvia, Lithuania, Romania, Slovakia, dan Slovenia, diminta George Bush untuk bergabung dengan NATO.

Rusia masih diam.

Hubungan Rusia-AS mulai memanas pada November 2013. Waktu itu, Presiden Ukraina Viktor Yanukovych--yang pro Moskow--menolak menandatangani pakta perdagangan dengan Uni Eropa dalam pertemuan puncak di Vilnius, Lituania. Sikap Yanukovich itu seketika memicu kemarahan kubu pro-Barat yang menginginkan integrasi Ukraina dengan negara-negara Eropa Barat.

Peristiwa selanjutnya mudah ditebak.Ukraina langsung mengalami krisis politik saat itu juga. Demonstrasi besar-besaran terjadi untuk memaksa Yanukovich turun dari kursi kepresidenan. Ukraina kisruh. Lumpuh. Bahkan dengan segera, Parlemen Ukraina mencabut mandat Presiden Viktor Yanukovich sebagai orang nomor satu di negara yang berada di tepi Laut Hitam itu, Sabtu 22 Februari 2014. Keputusan tersebut diambil anggota parlemen setelah melakukan pemungutan suara beberapa jam usai Yanukovich meninggalkan kantornya di ibu kota Ukraina, Kiev.

Tiga bulan kemudian, 25 Mei 2014, Pemilu digelar dengan kandidat presiden yang sudah disiapkan untuk menang, yakni Petro Poroshenko, konglomerat Ukraina yang pro Barat.

Menyikapi situasi tersebut, Vladimir Putin kemudian bertindak cepat dengan mengambil alih semenanjung Krimea. Proses aneksasi Krimea terjadi hanya dalam hitungan hari. Putin menggelar referendum dengan hasil 95 persen penduduk memilih reunifikasi dengan Rusia. Krimea memang sempat menjadi bagian Rusia selama 170 tahun, sebelum diserahkan dan menjadi bagian dari Ukraina di era Uni Soviet.

Tujuh tahun berjalan sejak peristiwa 2014 ternyata tidak mengubah pandangan Ukraina untuk bergabung dengan NATO. Sejak Yanukovich digulingkan, Presiden Ukraina selanjutnya memang selalu pro Barat, termasuk Volodymyr Zelenskyy, yang kembali mewacanakan Ukraina masuk menjadi anggota NATO.

Kali ini Vladimir Putin marah besar. Bagaimanapun Ukraina sangat penting bagi Rusia. Selain berbatasan langsung, Ukraina juga merupakan jalur transit distribusi komoditas Rusia sebelum ekspor ke berbagai negara. Itu sebabnya Putin merangsek Ukraina pada Februari lalu. Negara ini hancur lebur dibombardir Rusia. Perang jadi berkepanjangan setelah AS dan NATO ikut terlibat langsung dalam perang mendukung Ukraina.

Kita berharap perang bisa cepat selesai, meski banyak pengamat militer meragukannya.  Pasalnya, aktor utama perang ini, Rusia dan AS, sama-sama mendapatkan keuntungan finansial dari konflik bersenjata tersebut. Harga minyak dan gas Rusia naik setelah pasokannya ke Eropa dihentikan. Belum lagi dengan produk bahan pangan dan pupuk--termasuk ekspor gandum Ukraina yang diblokade Rusia. Sementara AS, bisa jualan persenjataan ke negara-negara yang dilibatkan dalam perang, atau negara-negara yang khawatir bahwa konflik bersenjata ini akan meluas menjadi Perang Dunia ke-3.

Dampak lainnya jelas buruk. Eropa mulai berada di ambang kegelapan. Gas, listrik, BBM, juga roti--yang berbahan dasar gandum--mulai menjadi barang mewah. Di sejumlah negara Eropa mulai menerapkan pembatasan penggunaan listrik. Industri satu per satu melakukan PHK atau justru berhenti beroperasi. Pengangguran meningkat tajam. Antrian bantuan bahan baku makanan dan BBM mulai bertambah panjang. Inflasi menjadi begitu menakutkan. Artinya, bila perang masih berkepanjangan, ini adalah kiamat bagi Eropa.

Asia juga kena dampak negatifnya meski tak separah Uni Eropa, juga AS. Bahkan secara umum, pemulihan krisis ekonomi Asia bisa lebih cepat. Yang perlu dikhawatirkan, ada gelagat bahwa perang akan dibawa oleh AS hingga ke kawasan Indo-Pasifik.

Bila terbukti begitu, kita perlu melaknat Paman Sam.

*****

BENAR kata Napoleon Bonaparte, dulu. Ia pernah mengatakan bahwa China adalah raksasa yang sedang tertidur. "Biarkan ia tidur, karena ketika bangun, ia akan mengguncang dunia."

Kata-kata Napoleon ini perlahan menjadi kenyataan ketika bangsa barat mulai bergantung dengan produk China. Negeri Tirai Bambu ini telah menjadi pusat manufaktur dunia dan membuat Tiongkok terhubung dalam jalur pelayaran global yang membentang dari Samudra Pasifik hingga Hindia. Hal ini membuat China memiliki kontrol atas jalur pelayaran penting yang menjadi nadi ekonomi dunia.

Di bidang pertahanan, China telah mendirikan pangkalan militer pertamanya di luar negeri, yakni di pantai timur Afrika, di Doraleh, Djibouti, pada 2017. Tentu saja ini meningkatkan kekhawatiran AS. Apalagi fasilitas militer China di sana berada tepat di luar gerbang pangkalan AS yang terletak di Kamp Lemonnier.

China juga telah menyelesaikan dermaga angkatan laut yang sangat besar, yang memiliki kemampuan untuk melabuhkan kapal terbesar mereka, termasuk kapal induk China serta kapal selam nuklir. Bahkan kabarnya, China sedang mencari lokasi lebih jauh ke selatan di sepanjang pantai Afrika timur, di Tanzania.

Artinya, apa yang sedang dilakukan China, sebelumnya, menjadi dominasi Amerika dan NATO. Ini yang membuat AS ketar-ketir.

China pun digoyang.

Presiden Donald Trump mencoba menjajal China lewat perang dagang. Ini juga dipicu oleh kekesalan Trump dengan neraca perdagangan negaranya yang selalu tercatat defisit dengan China. Untuk itu, ia memilih langkah proteksionisme untuk memperbaiki neraca perdagangan AS.

Trump menaikkan bea masuk impor panel surya dan mesin cuci produk China yang masing-masing menjadi 30 persen dan 20 persen. Sejak saat itu, tepatnya 22 Januari 2018, perang dagang pun dimulai. Tapi, China tak tinggal diam.

Beijing juga menaikkan tarif produk daging babi dan skrap aluminium mencapai 25 persen, dan juga memberlakukan tarif 15 persen untuk 120 komoditas AS. Mendapat balasan,  Departemen Perdagangan AS mengeluarkan kebijakan baru yang melarang perusahaan telekomunikasi China untuk membeli komponen AS selama tujuh tahun.

Perang dagang semakin liar. Pada 15 Juni 2018, Kantor Perwakilan Perdagangan AS menerbitkan daftar 1.102 barang impor China senilai US$50 miliar, dimana sebanyak 818 barang itu akan dikenakan tarif 25 persen. Sementara, 284 produk lainnya masih akan dievaluasi sebelum diputuskan jumlah tarif yang akan dikenakan. China membalasnya dengan membuat daftar 545 produk AS yang bernilai US$34 miliar dan akan dikenakan tarif 25 persen.

Ini pertarungan yang tidak main-main. Kedua negara itu memang sempat bermusyawarah untuk mencari jalan yang lebih fair. Tapi belum sempat ada kesepakatan, dunia dilanda Pandemi Covid-19. Komunikasi terputus.

Persoalan lain muncul. Taiwan diprovokasi untuk berpisah dengan China. Kebetulan, Presiden Taiwan Tsai Ing-we memang anti-China dan secara eksplisit berani menyatakan keinginannya untuk melepaskan diri dari China.

Ketegangan antara Taiwan dan China semakin kuat setelah Ketua DPR AS Nancy Pelosi berkunjung ke Taiwan. Sebelumnya, Joe Biden sempat membesarkan hati Xi Jin Ping bahwa Pelosi tidak jadi datang ke Taiwan. China percaya.

Tapi, janji tinggal janji.

Agustus 2022, Pelosi datang serombongan ke Taiwan untuk membawa kabar bahwa Senat Amerika Serikat (AS) telah mengambil langkah pertama yang akan membuat AS bisa secara langsung memberikan bantuan militer senilai miliaran dolar Amerika untuk Taiwan. Komisi Hubungan Luar Negeri Senat AS dari kedua partai--yakni Partai Demokrat dan Partai Republik--telah menyetujui Rancangan Undang-undang (RUU) Kebijakan Taiwan terkait dengan bantuan persenjataan tersebut.

Selama bertahun-tahun, AS memang telah menjual persenjataan ke Taiwan, namun RUU itu akan memungkinkan AS untuk melangkah lebih jauh dengan memberikan bantuan militer senilai US$ 4,5 miliar dalam kurun waktu empat tahun. Langkah itu jelas telah membuat marah China. Terlebih, RUU itu juga mengatur penjatuhan sanksi bagi China, jika negara itu menggunakan kekuatan militernya untuk merebut wilayah Taiwan.

Ciutkah nyali China?. Tidak. Beijing marah dan langsung menggelar latihan militer besar-besaran dengan mengepung perbatasan Taiwan di tengah masih berlangsungnya perang di Ukraina yang juga dipicu oleh Amerika. Sebab bagi China, Taiwan adalah bagian wilayah kedaulatannya. Maka tak heran bila dalam latihan tersebut, pasukan China melakukan tembakan-tembakan langsung yang membuat Presiden Taiwan Tsai Ing-we melakukan protes keras hingga menyatakan siap mempertahankan tanah airnya.

Situasi makin rumit.

Apalagi dalam satu dekade terakhir, wilayah Indo-Pasifik memang telah menjadi panggung sentral dari konflik persaingan kekuatan besar yang berisiko bagi stabilitas negara-negara di kawasan ini, termasuk Indonesia. Selain konflik antara China dan Taiwan, ada pula konflik Semenanjung Korea antara Korsel dan Korut. Juga konflik di Asia Selatan atau Samudera Hindia. Dan, hampir semua konflik tersebut melibatkan China dan Amerika Serikat sebagai dua kekuatan besar (great power).

Apakah konflik di kawasan Indo-Pasifik ini akan menjadi perang terbuka?. Bisa iya, bisa pula tidak. Tapi melihat situasinya, perang bisa meletus kapan saja. Apalagi, Joe Biden berasal dari Partai Demokrat yang rata-rata "hobi" perang. Dalam sejarahnya, AS beberapa kali perang ketika Presidennya berasal dari Demokrat. Begitu juga dengan sejumlah negara Asia yang bertikai ini  tidak takut perang. Ada China, juga Korea Utara.

Dalam beberapa tahun terakhir, Korut telah berhasil membangun kapal selam yang jauh lebih besar dari sebelumnya dan bertenaga nuklir. Mereka juga telah menguji coba rudal-rudal canggihnya dalam beberapa tahun belakangan. Perkembangan Korea Utara semakin membuat Korea Selatan khawatir, terlebih uji coba rudal dari kapal selam sulit terdeteksi karena diluncurkan di kedalaman laut.

Pada tanggal 4 Oktober, Korut menembakkan sejumlah rudal balistiknya yang terbang melewati langit Jepang hingga dianggap sebagai ancaman serius. Lalu pada 24 Oktober, Korut dan Korsel juga saling memberikan tembakan peringatan dan saling menuduh telah melanggar perbatasan laut di bagian barat. Konon, dalam satu bulan terakhir, Korut telah melepaskan lebih dari 80 rudalnya. Perkembangan senjata negara ini memang tumbuh cepat, bahkan Korut dicurigai telah menjadi manufaktur senjata bagi negara-negara yang anti hegemoni AS.

Barangkali karena itu, AS bersama Jepang dan Korsel kemudian mengancam Korut. Mereka memperingatkan negeri Kim Jong Un, akan adanya "repons kuat yang belum pernah terjadi sebelumnya". Ketiganya, bahkan, bersumpah akan bersatu melawan Pyongyang. Ini terkait dengan uji coba nuklir Negeri Pertapa.

Sementara di Australia, AS terlihat semakin agresif dengan menambah kekuatan militernya lewat pengiriman beberapa pesawat bomber yang dilengkapi dengan persenjataan. Judulnya seperti biasa, latihan militer gabungan antara AS, Australia, dan Inggris. Tentu saja tindakan itu semakin meningkatkan ketegangan di wilayah Indo-Pasifik.

Lalu apa sebenarnya yang membuat AS masuk dan membangun konflik di Ukraina dan Indo-Pasifik, yang dapat memicu Perang Dunia ke-3?.

*****

ASIA siap menggenggam dunia ke depan.

Coba kita lihat kondisinya saat ini. Asia adalah rumah dari setengah penduduk dunia. Kawasan ini, hanya dengan satu generasi saja, telah bermigrasi dari status berpendapatan rendah menjadi status berpendapatan menengah. Bahkan pada 2040 telah diproyeksikan Asia akan menghasilkan 50%, dari produk domestik bruto dunia dan lebih dari 40% konsumsi global berasal dari benua ini. Menurut catatan Mckinsey Global Institute Research, pusat gravitasi global sedang bergeser ke Asia. Dahsyat.

Suka tidak suka, saat ini Asia sedang mengalami peningkatan pangsa perdagangan, akumulasi kapital, SDM, pengetahuan, teknologi, dan sebagainya. Ada sejumlah negara besar Asia yang begitu cepat berkembang. Singkatnya, Asia adalah masa depan dunia. Tentu saja dengan Tiongkok yang berada paling depan. Tapi, Indonesia juga masuk sebagai negara penting dalam proses kebangkitan Asia kedepan.

Bahkan banyak kalangan telah memprediksi, lima besar kekuatan ekonomi dunia di masa depan akan didominasi Asia, yakni China, India, dan Indonesia. Kekuatan lainnya dalam lima besar itu adalah Rusia dan Brazil--dua negara yang juga kaya akan sumber daya alam seperti Indonesia dan India. Sebuah peta kekuatan ekonomi global  yang berubah begitu cepat.

Ini masuk akal.

Indonesia, misalnya. Di tangan Presiden Joko Widodo, kita sudah berani mengubah sistem kerja sama dengan pihak asing yang selama puluhan tahun tidak fair. Uni Eropa dan AS yang minim resourses, hanya mau membeli bahan mentah pertambangan. Mereka beli bahan mentah tembaga, misalnya, dan (bila) di dalamnya ada uranium atau emas, tetap bayar harga bahan mentah tembaga. Karena proses industrialisasinya dilakukan di luar Indonesia, kita tidak tahu persis apa sebenarnya yang terangkut di dalam "bahan mentah" itu.

Presiden Jokowi pernah mencoba negosiasi agar negara-negara itu membangun smelter di Indonesia lengkap dengan paket tranfer teknologinya. Tapi ditolak. Akhirnya, dibuatlah kebijakan untuk menjual komoditas tambang dalam bentuk setengah jadi. Artinya, proses smeltering harus dilakukan di Indonesia. Persoalannya, smelter harus dibangun dulu. Maka pada 2017, ekspor bahan mentah nikel--untuk pertama kalinya--dihentikan sementara sambil menunggu smelter selesai, dan kita akan ekspor dalam bentuk barang setengah jadi. Harganya tentu sudah jauh beda. Penerimaan pajak untuk negara juga berbeda.

Uni Eropa pun keblingsatan. Tidak bisa impor nikel Indonesia selama beberapa tahun. Mereka meradang. Marah, karena industrinya macet, tak ada bahan baku. Mereka gugat Indonesia ke World Trade Organization (WTO). Tapi kita tidak takut.

"Barang ya barang kita. Nikel ya nikel kita. Kenapa Eropa yang repot. Kita hadapi gugatan mereka di WTO," kata Presiden Joko Widodo.

Bahkan proses smeltering ini akan diterapkan untuk seluruh komoditas secara bertahap. Bisa dipastikan, Uni Eropa akan semakin tak berdaya. Pasalnya, sebelum smelter siap di Indonesia--seperti nikel--kita akan stop ekspor. Pucat semua negara yang mengandalkan hasil bumi bangsa kita namun menolak kebijakan transfer teknologinya dengan Indonesia. Hanya China yang menerima kesepakatan transfer teknologi itu.

Ini bisa menjadi alat penekan yang dahsyat bagi Indonesia.

Nah, pertumbuhan Asia yang begitu cepat ini, terutama Tiongkok--yang disebut-sebut bakal menggeser dominasi AS--membuat Negeri Paman Sam khawatir. AS sepertinya tidak siap untuk turun takhta. Tidak siap kehilangan hegemoninya atas dunia. Apalagi dikalahkan oleh Asia, benua yang sempat dijadikan tempat membuang sampah mereka.

Karena itulah AS bisa jadi memilih perang demi mempertahankan hegemoninya. Kecuali bila para kepala negara sekutu AS sadar bahwa Perang Dunia ke-3 hanya akan membuat kondisi dunia menjadi semakin buruk dan mengerikan, lengkap dengan tragedi kemanusiaannya. Atau, bila pemimpin Taiwan juga menyadari bahwa ada indikasi negaranya akan "di-Ukraina-kan" oleh AS. Toh, bila perang pecah, Taiwan--seperti Ukraina--yang akan paling menderita. Bukan AS. Bukan pula China.

Dengan tensi geopolitik yang semakin tinggi dan sulit diprediksi ini, Indonesia juga perlu hati-hati menyikapinya. Sebab, bila perang pecah di kawasan Indo-Pasifik, negara kepulauan ini akan menjadi semacam "tameng" antara Samudera Pasifik dan Hindia, menjadi negara "pembatas" antara dua wilayah besar di dunia. Ini situasi yang berisiko, situasi yang membuat kita perlu meningkatkan kewaspadaan, terutama secara militer.

Lalu di dalam negeri, kita juga perlu hati-hati dengan gerakan-gerakan yang ingin  membenturkan pemerintah dengan rakyat, yang (akan) berujung pada isu penurunan Presiden. Toh, isu bahwa ada keterlibatan asing dalam konflik dan unjuk rasa di Indonesia--termasuk upaya menjegal Presiden Joko Widodo--sudah terdengar beberapa tahun silam. Kita bisa tebak siapa mereka dengan membaca pihak mana yang paling terganggu dan dirugikan dengan kebijakan Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini


Hati-hati. Lihat kondisi Iran saat ini. Awalnya adalah demonstrasi soal melepas hijab, kini, Iran sudah mendekati krisis politik. Unjuk rasa besar-besaran itu menjadi pemicu benturan keras antara aparat keamanan dengan massa sipil. Isu selanjutnya mudah ditebak : oleh Barat dan AS, pemerintah Iran dituding telah melakukan pelanggaran HAM dalam mengatasi pengunjuk rasa. Berbagai media massa barat juga terlihat mendukung kubu demonstran untuk melepas hijab sebagai bagian dari HAM dan atas nama "demokrasi".

Karena itu kita (juga) perlu waspada. Banyak negara besar (yang kini sedang terancam resesi yang mengerikan) tak ingin Indonesia menjadi bangsa kelas dunia--yang berdaulat secara ekonomi dan politik--agar sumber daya alamnya bisa diperas lagi.

*****

# Bogor, 10 November 2022
....................................................

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun