Kawasan Indo-Pasifik telah menjadi arena kontestasi hegemonik antara kekuatan-kekuatan besar dalam beberapa tahun terakhir. Amerika Serikat (AS), China/Tiongkok, Jepang, India, dan aktor-aktor lain bersaing untuk membangun blok hegemonik dan menetapkan aturan main di kawasan.
Dengan menggunakan teori wacana post-strukturalis Ernesto Laclau, esai ini akan menganalisis bagaimana kontestasi hegemoni ini berlangsung melalui praktik artikulasi dan pembentukan rantai ekuivalensi.
Bagi Laclau & Mouffe (1985), hegemoni adalah kondisi di mana suatu partikularitas mengasumsikan representasi dari totalitas yang secara esensial tidak dapat direpresentasikan. Hegemoni melibatkan konstruksi nodal points yang menetapkan makna parsial dalam suatu wacana.
Dalam konteks Indo-Pasifik, AS dan China berupaya membangun nodal points mereka masing-masing. Tujuannya adalah untuk menetapkan makna dari tatanan regional. Selanjutnya, wacana hegemonik itu dapat menentukan bagaimana kontestasi wacana ini dapat memicu konflik dan, sekaligus, membuka ruang-ruang kerja sama di kawasan.
Laclau & Mouffe (1985) memandang wacana sebagai totalitas terstruktur yang dihasilkan dari praktik artikulasi. Melalui artikulasi, analisis wacana berupaya menetapkan relasi di antara elemen-elemen sedemikian rupa, sehingga identitasnya termodifikasi.
Dalam konteks Indo-Pasifik, berbagai kekuatan seperti AS, Tiongkok, Jepang, dan India berupaya mengartikulasikan visi mereka tentang tatanan regional dan menetapkan makna dari penanda "Indo-Pasifik" itu sendiri.
Bahkan, Uni Eropa dan ASEAN juga ikut serta mewacanakan Indo-Pasifik menurut identitas mereka masing-masing. Artikulasi wacana dari  tiap-tiap pihak itu dapat diidentifikasi dari berbagai pernyataan para pemimpin dalam berbagai pidato atau pertemuan tingkat tinggi.
AS membaca Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka" (Free and Open Indo-Pacific/FOIP) menjadi penanda utama untuk mempertahankan tatanan regional berbasis aturan dan membendung pengaruh Tiongkok. AS juga selalu mengaitkan penanda "Indo-Pasifik" dengan nilai-nilai liberal, seperti kebebasan navigasi, keterbukaan, dan kerja sama.
Dengan cara itu, AS berupaya membangun rantai ekuivalensi guna memperluas blok hegemoniknya di kawasan. Pada saat yang sama, AS juga berusaha menetapkan batas-batas wacana. Â
Menlu AS Mike Pompeo (2019), misalnya, menegaskan visi AS untuk Indo-Pasifik tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi eksklusif. Sebaliknya, AS ingin wacana FOIP itu untuk meningkatkan stabilitas, keamanan, kemakmuran, dan kedaulatan negara di kawasan ini.Â