Mohon tunggu...
ARIF ROHMAN SALEH
ARIF ROHMAN SALEH Mohon Tunggu... Guru - SSM

Menyenangi Kata Kesepian dan Gaduh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malam Tergelincir, Lolongan, dan Gonggongan

24 Oktober 2020   09:58 Diperbarui: 24 Oktober 2020   10:09 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Tanja Mikkelsen. pixabay.com

“Aauuu!…”

“Guk…guk…guk!… Guk…guk…guk!…”

“Aauuu!…”

Telinga-telinga ditajamkan. Menelusuri asal suara lolongan srigala-srigala. Lolongan yang terus menggema. Menusuk ke seluruh penjuru desa. Menggetarkan malam nan sunyi.

Begitupun gonggongan-gonggongan anjing liar. Saling bersahutan. Mengikuti setiap lolongan srigala. Seakan memberi tanda. Entah apalagi yang akan terjadi. Di desa nan sunyi. Saat malam mulai tergelincir dari puncak kegelapan.

“Asalnya dari utara” Jawab Kromo.

“Perasaan dari arah barat” Timpal Karyo.

“Aneh. Begitu banyak lolongan dan gonggongan malam ini” Ujar Rasimin meramaikan keadaan.  

“Sebentar. Semua diam! Dengarkan lebih tajam lagi!” Bentak Pak Kades. Memotong debat.

“Ya…. Diam dulu, saudara-saudara!” Timpal Bragolo.

Lengkingan rusa di kejauhan terdengar semakin menjauh. Kepak sayap burung-burung malam berhamburan meninggalkan tempatnya bertengger. Angin membisu, mengunci siul-siul usilnya.

“Aauuu!...”

“Guk…guk…guk!… Guk...guk…guk!...”

“Arah timur!” Serempak yang ada bersuara. Lirih berirama.

Dua puluh orang itu merangsek ke arah timur. Menembus gelap. Dua puluh orang pemberani. Terbiasa membelah kegelapan. Terbiasa menebas aral melintang. Siap berburu di gelap malam.

****

Desa Pakuncen. Tempat terpencil. Terpagari hutan pinus di sekelilingnya. Juga bebukitan serupa sabana. Desa yang dulunya keramat dan tenang. Berubah menjadi desa mati. Desa yang sudah banyak ditinggalkan penduduknya. Setelah peristiwa-peristiwa menggetarkan silih berganti, terjadi setiap bulan. Lebih tiga tahun tak pernah henti.

Peristiwa pemerkosaan perempuan-perempuan. Masih lekat di benak para keluarga korban. Betapa anak gadis, bahkan istri yang mereka sayangi, dirudapaksa. Bukan hanya itu, korban-korban kemudian dibunuh. Banyak luka di tubuh korban. Luka-luka seperti cakaran binatang buas. Lantas jasadnya ditemukan membusuk. Saat ditemukan di sekitaran ngarai sungai Kendit yang sangat curam.

Belum tuntas peristiwa pemerkosaan yang menggemparkan, terjadi pencurian hewan-hewan ternak. Hewan yang dicuri adalah sapi dan kerbau. Hewan-hewan berharga. Harapan ekonomi warga desa selain dari hasil bertani. Musnah hanya dalam beberapa pekan.

Anehnya, peristiwa-peristiwa menggemparkan tersebut tak pernah terungkap. Semenjak Kades Sugriwa berkuasa. Hilang digulung angin yang berhembus dari segala arah. Bahkan tak terendus oleh pihak berwenang sekalipun.    

Penduduk hanya mendengar, bahwa perilaku-perilaku biadab telah dilakukan oleh binatang-binatang malam. Binatang-binatang yang kadang memperdengarkan lolongan dan gonggongan di kesunyian nun jauh di hutan-hutan. Katanya.

****

Di puncak bukit, sepasang mata liar menatap tajam. Bibirnya masih komat-kamit. Menyemburkan mantra-mantra gaib. Membangunkan kekuatan-kekuatan kegelapan. Srigala-srigala siluman dan anjing-anjing liar. Binatang-binatang yang haus darah manusia-manusia durjana.

Srigala-srigala beringas bermunculan. Bergerak tangkas dari berbagai penjuru. Mengikuti perintah gaib sang mata liar. Demikian juga, anjing-anjing liar. Meninggalkan perburuan malam sesama binatang. Lidahnya terjulur dan hidungnya tajam mengendus keringat-keringat manusia pemburu malam.

Kini, dua kekuatan saling berburu. Kekuatan manusia-manusia dan binatang-binatang pemburu. Menerjang kegelapan. Kalap pada semangat membara yang ditabuh angkara-angkara haus darah. Saling adu kekuatan di palagan pertemuan.

****

Dua puluh orang pemburu tiba-tiba berhenti. Di depan mereka, jelas terlihat sorot mata-mata tajam. Mata-mata berwarna biru dan merah menyala. Mata milik para srigala dan anjing-anjing liar.

“Aauuu… Aauuu”

Srigala terdepan memberi isyarat. Membangunkan pikiran-pikiran kalap sesama binatang pemburu. Lolongan bersahutan. Dari penjuru-penjuru hutan. Memecah kesunyian. Menabuh genderang perang.

“Sialan!” Pekik Bragolo.    

“Kenapa Kang?” Tanya Brodin.

“Hladalah! Tampaknya kita dikepung!”

Suara geram Pak Kades menggema. Kepak burung malam kembali terdengar berhamburan. Dedaunan membisu. Jangkrik-jangkrik meringkuk di persembunyiannya. Sepi memagut rasa.

“Brodin! Lihat sebelah kiri” Lirih suara Pak Kades. Seakan berbisik.

Brodin dan lima anak buahnya serempak menoleh arah kiri. Mereka melihat kilat-kilat mata mendekat perlahan. Dengus napas kegeraman binatang-binatang pemburu jelas terdengar. Menembus gendang-gendang telinga yang mulai bergetar.

“Belakang kita juga, Pak!” Teriak anak buah Bragolo.

Sontak Bragolo dan anak buahnya memutar badan. Menghadap arah belakang. Dekat mereka juga sudah muncul srigala-srigala dan anjing-anjing liar. Tak terhitung jumlahnya. Menunjukkan taring-taring tajam. Siap menerkam dan mencabik-cabik mangsa.

“Saudara-saudara! Semua ambil posisi siaga. Jika binatang-binatang ini menyerang! Sekali lagi. Jika binatang-binatang ini menyerang! Kita tebas dan robek-robek mulutnya!. Jangan gentar, mereka hanyalah binatang, Pahammm!”

Semua terdiam. Bersiap menghadapi keadaan. Senjata parang dan pedang terhunus tajam telanjang.

****

Benar. Sunyi malam pecah! Binatang-binatang penguasa malam serempak menerjang. Pun juga orang-orang pilihan Desa Pakuncen, berjibaku menyambut lawan.

Raungan kegeraman dan tebasan-tebasan tajam senjata saling beradu kegemparan. Gempur-menggempur saling mencabik-cabik tubuh. Menyebabkan korban-korban berjatuhan. Malam bergelimang darah. Korban-korban menggelepar. Nyawa-nyawa meregang di kedua belah pihak. Di hutan Larangan. Di tengah malam nan gelap buta. 

Brodin dan Bragolo tangkas menebas beberapa srigala dan anjing-anjing haus darah. Namun mereka kalah jumlah. Serbuan ganas para srigala dan anjing-anjing liar, membuat mereka merelakan tubuhnya tercabik-cabik. Tanpa wujud lagi.

Pun Pak Kades sudah mulai kehabisan tenaga. Penguasa paruh baya itu akhirnya tersungkur kelelahan. Kesempatan tak datang dua kali. Tubuh Pak Kades tercabik-cabik kuku-kuku tajam binatang buas. Binatang-binatang yang tak pernah puas menghabisi mangsa. Mengoyak-ngoyak dengan taring-taring tajam. Hingga korban tak mampu memompa lagi napas satu-satunya.   

****

Palagan sepi. Malam memagut dan menggigil. Deru angin tetiba datang menyembul lewat ranting-ranting patah. Mencipta melankolia palagan sabung nyawa.

Masih tersisa. Hanya seorang penduduk yang tersisa. Berdiri mematung. Sementara srigala-srigala dan anjing-anjing liar terus melolong dan menggonggong. Menggemakan kemenangan.

“Pulanglah Hasto”

Lelaki yang masih mematung itu memutar tubuhnya. Dilihatnya sosok orang tua berpakaian serba putih berdiri di depan srigala-srigala dan anjing-anjing liar. Entah dari mana datangnya sosok orang tua itu.

“Maaf. Bapak siapa?”

“Aku Mbah Sastro. Orang yang pertama membuka lahan di Desa Pakuncen ini. Mereka, Kades dan begundal-begundalnya yang telah membuat kekacauan selama ini. Kekacauan yang seakan-akan dilakukan oleh srigala dan anjing liar”

“Benarkah Mbah?”

Tidak ada jawaban dari tanya Hasto. Mbah Sastro hanya menatap Desa Pakuncen. Membelakangi Hasto yang masih diliputi tanda tanya.

“Sampaikan pada penduduk. Jangan takut untuk kembali ke desa ini. Meskipun letaknya terpencil dan dikelilingi hutan, juga perbukitan, desa ini memberi kemakmuran dan kedamaian. Saling jaga antara manusia dan lingkungannya. Asalkan tidak ada lagi manusia-manusia bejat seperti Kades Sugriwa dan begundal-begundalnya”     

Hasto hanya mampu mendengar. Mulutnya serasa dikunci, tak mampu mengucapkan sepatah katapun.

“Pulanglah Hasto. Jangan takut dan sampaikan juga pesanku untuk anak cucu nantinya”

****

Di pekuburan keramat. Tempat nan rindang. Dua pohon beringin besar kokoh berdiri. Orang-orang Desa Pakuncen duduk mengitari dua kuburan tua. Kuburan Mbah Sastro dan istrinya.

“Saudara-saudara. Mbah Sastro hanya berpesan, jagalah kedamaian dan kerukunan antar penduduk dan lingkungan. Agar kedamaian dan kemakmuran di Desa Pakuncen ini tetap terjaga. Srigala dan anjing liar adalah sahabat alam. Penyeimbang kehidupan. Mereka tak akan pernah mengusik hidup kita, jika manusia tak pernah mengusiknya”

Hasto masih tegar berdiri. Tatapan matanya sedikitpun tak berkedip ke arah penduduk yang hadir. Lantas bersimpuh di depan nisan Mbah Sastro. Empat cucunya juga turut bersimpuh.

“Kalian harus percaya yang aku sampaikan. Kalian dan juga anak-anak Desa Pakuncen adalah penerus kami. Jaga kedamaian. Jangan melakukan kerusakan di desa ini. Desa tempat lahir kalian”

Orang-orang menunduk. Mereka dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Mbah Hasto. Orang tua satu-satunya saksi kesakralan Desa Pakuncen. Desa yang damai di sebuah tempat terpencil. Desa yang masih dijaga oleh kekuatan luhur. Penjaga kebenaran dan keseimbangan alam.

Di balik rerimbunan perdu, sesosok orang muda mengibaskan dedaunan. Bergegas beranjak dari tempat persembunyiannya. Bibirnya tersenyum. Senyum sinis yang siap memantik kegaduhan. 

Banyuwangi. 24.10.2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun