“Pulanglah Hasto. Jangan takut dan sampaikan juga pesanku untuk anak cucu nantinya”
****
Di pekuburan keramat. Tempat nan rindang. Dua pohon beringin besar kokoh berdiri. Orang-orang Desa Pakuncen duduk mengitari dua kuburan tua. Kuburan Mbah Sastro dan istrinya.
“Saudara-saudara. Mbah Sastro hanya berpesan, jagalah kedamaian dan kerukunan antar penduduk dan lingkungan. Agar kedamaian dan kemakmuran di Desa Pakuncen ini tetap terjaga. Srigala dan anjing liar adalah sahabat alam. Penyeimbang kehidupan. Mereka tak akan pernah mengusik hidup kita, jika manusia tak pernah mengusiknya”
Hasto masih tegar berdiri. Tatapan matanya sedikitpun tak berkedip ke arah penduduk yang hadir. Lantas bersimpuh di depan nisan Mbah Sastro. Empat cucunya juga turut bersimpuh.
“Kalian harus percaya yang aku sampaikan. Kalian dan juga anak-anak Desa Pakuncen adalah penerus kami. Jaga kedamaian. Jangan melakukan kerusakan di desa ini. Desa tempat lahir kalian”
Orang-orang menunduk. Mereka dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Mbah Hasto. Orang tua satu-satunya saksi kesakralan Desa Pakuncen. Desa yang damai di sebuah tempat terpencil. Desa yang masih dijaga oleh kekuatan luhur. Penjaga kebenaran dan keseimbangan alam.
Di balik rerimbunan perdu, sesosok orang muda mengibaskan dedaunan. Bergegas beranjak dari tempat persembunyiannya. Bibirnya tersenyum. Senyum sinis yang siap memantik kegaduhan.
Banyuwangi. 24.10.2020