****
Palagan sepi. Malam memagut dan menggigil. Deru angin tetiba datang menyembul lewat ranting-ranting patah. Mencipta melankolia palagan sabung nyawa.
Masih tersisa. Hanya seorang penduduk yang tersisa. Berdiri mematung. Sementara srigala-srigala dan anjing-anjing liar terus melolong dan menggonggong. Menggemakan kemenangan.
“Pulanglah Hasto”
Lelaki yang masih mematung itu memutar tubuhnya. Dilihatnya sosok orang tua berpakaian serba putih berdiri di depan srigala-srigala dan anjing-anjing liar. Entah dari mana datangnya sosok orang tua itu.
“Maaf. Bapak siapa?”
“Aku Mbah Sastro. Orang yang pertama membuka lahan di Desa Pakuncen ini. Mereka, Kades dan begundal-begundalnya yang telah membuat kekacauan selama ini. Kekacauan yang seakan-akan dilakukan oleh srigala dan anjing liar”
“Benarkah Mbah?”
Tidak ada jawaban dari tanya Hasto. Mbah Sastro hanya menatap Desa Pakuncen. Membelakangi Hasto yang masih diliputi tanda tanya.
“Sampaikan pada penduduk. Jangan takut untuk kembali ke desa ini. Meskipun letaknya terpencil dan dikelilingi hutan, juga perbukitan, desa ini memberi kemakmuran dan kedamaian. Saling jaga antara manusia dan lingkungannya. Asalkan tidak ada lagi manusia-manusia bejat seperti Kades Sugriwa dan begundal-begundalnya”
Hasto hanya mampu mendengar. Mulutnya serasa dikunci, tak mampu mengucapkan sepatah katapun.