Â
Renny selalu punya mimpi besar: hidup serba cukup, mandiri, dan kaya. Ia percaya bahwa dengan uang, seorang perempuan bisa benar-benar merdeka. Namun, takdir mempertemukannya dengan seorang ustaz sederhana, pengajar di sebuah pesantren kecil di kotanya. Suaminya alim, rendah hati, dicintai santri-santrinya, tapi penghasilannya terbatas.
Di rumah, Renny sering merasa tercekik. Gaji mengajar suaminya hanya cukup untuk kebutuhan harian. Sementara Renny ingin lebih: pakaian bagus, rumah yang megah, dan tabungan besar untuk masa depan anak semata wayangnya---seorang gadis kecil yang ia cintai, tapi juga ia takutkan akan tumbuh dengan hidup pas-pasan seperti dirinya.
Kesempatan itu datang saat Renny mengenal seorang pemuda, pemilik showroom mobil mewah. Penampilannya berkelas, pandai bicara, dan terlihat percaya pada Renny. Ia memberi Renny kesempatan untuk bekerja dengannya dan  mengatur sebagian alur keuangan showroom, mempercayakan pembukuan kepadanya. Renny merasa bangga, merasa hidupnya sangat bahagia ---akhirnya ada yang melihat kemampuannya.
Namun kepercayaan itu tidak gratis. Sang pemilik showroom menuntut lebih dari sekadar kerja. Renny, dengan segala ambisinya, akhirnya menyerahkan tubuhnya. Ia menenangkan hati dengan pikiran: "Ini semua demi anakku. Demi masa depan yang lebih baik."
Bisnis itu benar-benar menguntungkan. Renny membawa pulang hadiah, uang tambahan, bahkan bisa membiayai kebutuhan anaknya lebih dari cukup. Tidak hanya materi yang didapatkannya namun kehampaan bathin yang selama ini dirasakan dapat di tumpahkan kepada kekasihnya ini, Dilain situasi suaminya bersyukur, mengira ada jalan rezeki yang baik untuk keluarga mereka. Ia tidak tahu bahwa di balik itu, istrinya menyimpan rahasia gelap.
Tapi semua kebahagiaan itu hanya ilusi. Pemilik showroom sebenarnya hanya memanfaatkan Renny. Di lingkungannya yang masih kuat berpegang pada adat dan norma, ia tak berani bermain dengan gadis muda atau wanita lajang. Renny yang nyata nyata, seorang istri ustaz, justru menjadi tempat aman baginya: tak ada yang curiga, dan jika pun terbongkar, Renny yang akan dipersalahkan.
Suatu hari di ranjang showroom-apartemen itu, Renny masih menangis histeris. Air matanya membasahi bantal, sementara uang yang ia robek bertebaran di lantai. Pemuda pemilik showroom berdiri sambil merapikan pakaiannya, wajahnya tanpa raut bersalah.
"Sudahlah, Renny," katanya datar. "Jangan drama. Kita sama-sama tahu hubungan ini cuma sementara. Kamu dapat uang, aku dapat yang kuinginkan. Selesai."