Pemuda itu meninggalkannya begitu saja. Pintu tertutup keras, meninggalkan Donna sendirian di ranjang yang masih berantakan. Tangisnya pecah semakin keras. Ia meraih sobekan uang di lantai, meremasnya, lalu menjerit:
"Aku hanya dipakai... hanya dipakai... lalu dibuang!!!"
Tangannya gemetar, tubuhnya bergetar hebat. Antara marah, sakit hati, dan rasa jijik pada dirinya sendiri. Donna berguling di ranjang, menjerit sambil menertawakan dirinya dalam kepahitan.
Malam itu, Donna tahu: semua obsesi dan pengorbanannya tidak membawanya pada kebahagiaan, melainkan menyeretnya pada kehancuran. Ia tidak lagi istri yang terhormat, bukan pula wanita mandiri yang ia impikan. Ia hanya tinggal bayangan---perempuan yang dimanfaatkan, lalu ditinggalkan tanpa sisa.
Kenyataan itu menghantam Donna keras ketika ia mengetahui pemuda itu diam-diam menjalin hubungan dengan perempuan lain---lebih muda, lebih cantik, dan lebih pantas diperkenalkan ke keluarga. Ketika Donna menuntut penjelasan, sang pemuda hanya menatapnya dingin.
 "Jangan salah paham, Donna. Kita hanya saling menguntungkan. Aku tidak bisa bersamamu selamanya. Aku harus menjaga nama baik keluarga."
Kata-kata itu menghancurkan dunia Donna. Semua pengorbanannya, tubuh, harga diri, bahkan kebohongan pada suaminya, ternyata tidak berarti. Ia hanya dipakai sebagai pelampiasan.
Malam itu Donna pulang dengan dada sesak. Ia menatap suaminya yang masih sibuk menyiapkan bahan mengajar, wajahnya teduh dan tulus. Anaknya tertidur pulas di pangkuannya. Air mata Donna jatuh---tapi bukan karena cinta, melainkan karena rasa sakit yang bercampur amarah.
Penghianatan berbalas penghianatan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI