Donna selalu punya mimpi besar: hidup serba cukup, mandiri, dan kaya. Ia percaya bahwa dengan uang, seorang perempuan bisa benar-benar merdeka. Namun, takdir mempertemukannya dengan seorang ustaz sederhana, pengajar di sebuah pesantren kecil di kotanya. Suaminya alim, rendah hati, dicintai santri-santrinya, tapi penghasilannya terbatas.
Di rumah, Donna sering merasa tercekik. Gaji mengajar suaminya hanya cukup untuk kebutuhan harian. Sementara Donna ingin lebih: pakaian bagus, rumah yang megah, dan tabungan besar untuk masa depan anak semata wayangnya---seorang gadis kecil yang ia cintai, tapi juga ia takutkan akan tumbuh dengan hidup pas-pasan seperti dirinya.
Kesempatan itu datang saat Donna mengenal seorang pemuda, pemilik showroom mobil mewah. Penampilannya berkelas, pandai bicara, dan terlihat percaya pada Donna. Ia memberi Donna kesempatan untuk bekerja dengannya dan  mengatur sebagian alur keuangan showroom, mempercayakan pembukuan kepadanya. Donna merasa bangga, merasa hidupnya sangat bahagia ---akhirnya ada yang melihat kemampuannya.
Namun kepercayaan itu tidak gratis. Sang pemilik showroom menuntut lebih dari sekadar kerja. Donna, dengan segala ambisinya, akhirnya menyerahkan tubuhnya. Ia menenangkan hati dengan pikiran: "Ini semua demi anakku. Demi masa depan yang lebih baik."
Bisnis itu benar-benar menguntungkan. Donna membawa pulang hadiah, uang tambahan, bahkan bisa membiayai kebutuhan anaknya lebih dari cukup. Tidak hanya materi yang didapatkannya namun kehampaan bathin yang selama ini dirasakan dapat di tumpahkan kepada kekasihnya ini, Dilain situasi suaminya bersyukur, mengira ada jalan rezeki yang baik untuk keluarga mereka. Ia tidak tahu bahwa di balik itu, istrinya menyimpan rahasia gelap.
Tapi semua kebahagiaan itu hanya ilusi. Pemilik showroom sebenarnya hanya memanfaatkan Donna. Di lingkungannya yang masih kuat berpegang pada adat dan norma, ia tak berani bermain dengan gadis muda atau wanita lajang. Donna yang nyata nyata, seorang istri ustaz, justru menjadi tempat aman baginya: tak ada yang curiga, dan jika pun terbongkar, Donna yang akan dipersalahkan.
Suatu hari di ranjang showroom-apartemen itu, Donna masih menangis histeris. Air matanya membasahi bantal, sementara uang yang ia robek bertebaran di lantai. Pemuda pemilik showroom berdiri sambil merapikan pakaiannya, wajahnya tanpa raut bersalah.
"Sudahlah, Donna," katanya datar. "Jangan drama. Kita sama-sama tahu hubungan ini cuma sementara. Kamu dapat uang, aku dapat yang kuinginkan. Selesai."
Donna menoleh dengan mata merah membengkak.
 "Bagimu sementara?! Aku hancurkan diriku demi ini! Demi kita!"
Pemuda itu tersenyum tipis, dingin.
 "Tidak ada 'kita', Donna. Mulai besok aku akan tunangan dengan gadis pilihan keluarga. Gadis baik-baik, muda, dan pantas dibawa ke hadapan orangtuaku. Kamu... hanya persinggahan."
Kata-kata itu menghantam Donna seperti palu besi. Dadanya sesak, napasnya berat. Dunia seakan runtuh. Ia ingin berteriak lagi, tapi suaranya tercekat. Yang keluar hanya isak terputus-putus.
Pemuda itu meninggalkannya begitu saja. Pintu tertutup keras, meninggalkan Donna sendirian di ranjang yang masih berantakan. Tangisnya pecah semakin keras. Ia meraih sobekan uang di lantai, meremasnya, lalu menjerit:
"Aku hanya dipakai... hanya dipakai... lalu dibuang!!!"
Tangannya gemetar, tubuhnya bergetar hebat. Antara marah, sakit hati, dan rasa jijik pada dirinya sendiri. Donna berguling di ranjang, menjerit sambil menertawakan dirinya dalam kepahitan.
Malam itu, Donna tahu: semua obsesi dan pengorbanannya tidak membawanya pada kebahagiaan, melainkan menyeretnya pada kehancuran. Ia tidak lagi istri yang terhormat, bukan pula wanita mandiri yang ia impikan. Ia hanya tinggal bayangan---perempuan yang dimanfaatkan, lalu ditinggalkan tanpa sisa.
Kenyataan itu menghantam Donna keras ketika ia mengetahui pemuda itu diam-diam menjalin hubungan dengan perempuan lain---lebih muda, lebih cantik, dan lebih pantas diperkenalkan ke keluarga. Ketika Donna menuntut penjelasan, sang pemuda hanya menatapnya dingin.
 "Jangan salah paham, Donna. Kita hanya saling menguntungkan. Aku tidak bisa bersamamu selamanya. Aku harus menjaga nama baik keluarga."
Kata-kata itu menghancurkan dunia Donna. Semua pengorbanannya, tubuh, harga diri, bahkan kebohongan pada suaminya, ternyata tidak berarti. Ia hanya dipakai sebagai pelampiasan.
Malam itu Donna pulang dengan dada sesak. Ia menatap suaminya yang masih sibuk menyiapkan bahan mengajar, wajahnya teduh dan tulus. Anaknya tertidur pulas di pangkuannya. Air mata Donna jatuh---tapi bukan karena cinta, melainkan karena rasa sakit yang bercampur amarah.
Penghianatan berbalas penghianatan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI