Semangat mereka sejalan dengan nilai-nilai perjuangan Kartini: menolak pasrah pada keadaan, menggugat ketidakadilan, dan menegakkan hak untuk belajar sebagai hak asasi. Dalam konteks Sabah, perjuangan itu mengambil bentuk yang sangat konkret, bukan di ruang kelas yang nyaman, tetapi di bangunan bekas gudang pupuk, atau ruang-ruang sempit yang disulap menjadi tempat belajar yang layak.
Perempuan-perempuan seperti Nurahmah adalah Kartini masa kini. Mereka membuktikan bahwa emansipasi bukan sekedar soal hak yang diperjuangkan untuk diri sendiri, tetapi tentang keberanian dan keikhlasan untuk menjadi agen perubahan bagi orang lain. Dalam dunia migran, di mana status hukum, ekonomi, dan jarak menjadikan akses pendidikan sebagai kemewahan, keberadaan para guru ini adalah jawaban dari harapan.
Lebih jauh lagi, kisah perjuangan para guru di Sabah juga menjadi cermin dari kolaborasi hebat lintas negara dan lintas institusi. Dukungan dari pemerintah Indonesia seperti Kementerian Pendidikan dan Konsulat RI Tawau, pihak perusahaan sawit, serta komunitas setempat menjadi faktor penting yang memungkinkan CLC tetap hidup dan berkembang.
Oleh karena itu pula, momentum Hari Kartini seharusnya mendorong kita semua untuk tidak berhenti pada seremoni tahunan, ramai-ramai mengenakan pakaian kebaya misalnya, namun mengambil peran aktif dalam melanjutkan perjuangan literasi dan kesetaraan. Pendidikan adalah jembatan menuju masa depan yang lebih baik, dan para Kartini di perbatasan seperti Nurahmah adalah penjaga jembatan itu.
Mereka menunjukkan bahwa semangat Kartini tidak pernah padam, ia justru semakin menyala, menjangkau hingga ladang-ladang sawit di Sabah, dan tumbuh di hati para pendidik yang gigih menjaga asa. ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI