Mohon tunggu...
Ari J. Palawi
Ari J. Palawi Mohon Tunggu... Pengrajin Tulisan, Petani Seni, dan Akademisi

The Sonic Bridge Between Tradition and Innovation

Selanjutnya

Tutup

Roman

Perahu yang Mereka Bangun

19 September 2025   01:01 Diperbarui: 19 September 2025   01:01 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memorabilia Suara Akademia (2010-2023)

(Novela Dua Bagian)

Ruang Rapat dan Halaman Kampus

Sore itu, kampus terasa lebih sepi dari biasanya. Gedung-gedung tampak letih, cat dindingnya pudar, dan aspal di halaman mulai berkerikil. Aku datang bersama seorang dosen senior, orang yang pernah bekerja bersama "ia" — sosok yang namanya sering disebut setiap kali orang bercerita tentang lahirnya Program Studi Pendidikan Seni.

Kami berhenti di depan sebuah ruangan yang sudah lama terkunci. "Di sinilah semua dimulai," katanya sambil mencari kunci. Begitu pintu terbuka, bau lembap bercampur bau spidol yang mengering menyambut kami. Kursi-kursi kayu berderit ketika kami duduk.

Di papan tulis ada bekas coretan samar — diagram mata kuliah, beberapa kata yang masih terbaca: visi, identitas, aksi.

"Dulu," katanya sambil menunjuk papan itu, "rapat bisa sampai malam. Dia selalu datang lebih awal, membawa catatan penuh coretan. Kalau hujan, ia datang dengan baju basah. Kalau listrik mati, kita rapat dengan lampu darurat."

Aku mendengarkan dengan khidmat. Rasanya ruangan ini menyimpan gema langkah, tawa, bahkan perdebatan.

"Yang paling kuingat," dosen itu melanjutkan, "adalah cara dia memandang kurikulum. Katanya, 'Ini bukan daftar mata kuliah. Ini harus jadi jalan hidup. Lulusan kita bukan hanya guru, tapi pencipta, peneliti, dan duta kebudayaan.'"

Ia tertawa kecil. "Kadang kami capek mendengar idealismenya. Tapi entah kenapa, itu membuat kami terus bekerja."

Kami keluar ruangan dan berjalan ke halaman belakang. Di bawah pohon flamboyan, sekelompok mahasiswa sedang latihan teater. Mereka berteriak, jatuh, tertawa, bangkit lagi. Seorang dosen muda ikut memberi arahan.

"Lihat itu," kata dosen senior itu. "Inilah yang dulu dia bayangkan. Halaman kampus yang hidup. Mahasiswa yang tidak hanya duduk di kelas, tapi menggerakkan tubuh, mengasah rasa, dan mencipta sesuatu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun