2. Arogan dan Tidak Empatinya Elite Politik
Tindakan anggota DPR seperti joget di ruang sidang DPR dan pernyataan yang menyakitkan hati rakyat kecil memperburuk citra elit, memperdalam kesenjangan, dan menimbulkan kemarahan luas.
3. Krisis Legitimasi dan Gaji Anggota DPR
DPR memiliki tiga fungsi utama: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dalam situasi krisis, DPR wajib mengedepankan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama, memberikan pengawasan ketat atas kebijakan pemerintah dan memastikan akuntabilitas. DPR juga berperan dalam pembentukan dan peninjauan undang-undang yang memengaruhi kehidupan rakyat.
Namun, kasus kenaikan gaji DPR yang kontroversial dan "nonaktifisasi" anggota DPR oleh partai politik yang tidak diatur jelas dalam UU MD-3 menunjukkan lemahnya mekanisme penegakan disiplin internal di lembaga legislatif.
Setelah situasi chaos Presiden Prabowo memanggil pimpinan Parpol kemudian pimpinan partai politik menon-aktifkan beberapa anggota Partainya di DPR. Menarik dicermati langkah pimpinan partai politik yang menonaktifkan sejumlah anggota DPR yang bermasalah adalah inskonstitusional karena menurut UU MD-3 No.17 Tahun 2014 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) tidak dikenal istilah non-aktifkan sehingga yang bersangkutan tetap menjadi anggota dan menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas. Ini menimbulkan pertanyaan tentang akuntabilitas dan integritas lembaga legislatif.
Menurut UU MD-3 No. 17 Tahun 2014 dan revisinya, tidak ada ketentuan tentang status nonaktif anggota DPR. Pergantian anggota hanya bisa melalui proses Pergantian Antar Waktu (PAW). Anggota DPR yang "dinonaktifkan" oleh partai politik tetap resmi anggota DPR yang menerima haknya, sehingga ketentuan ini menimbulkan kebingungan dan perlu amandemen aturan internal DPR untuk solusi transparan dan adil.
4. Akumulasi Kekecewaan dan Kurangnya Respons Pemerintah
Menurut pernyataan Prof. Mahfud MD, situasi sempat memburuk karena akumulasi rasa kecewa yang lama tidak direspons dengan solusi nyata, sementara aparat dan pengelola kebijakan politik tidak mampu menekan konflik yang terjadi di lapangan.
5. Keterlibatan Oknum Aparat dan Mafia Korupsi
Data dan penelusuran dari jejak digital menunjukkan bahwa sebagian kerusuhan dan provokasi diduga dimanfaatkan oleh oknum kepolisian, TNI, dan bahkan mafia korupsi-politik yang berusaha menggagalkan pemberantasan korupsi oleh pemerintah Presiden Prabowo Subianto.