Relevansi Saat Ini
Dalam dunia yang semakin multipolar---dengan naiknya China dan Rusia---banyak yang percaya bahwa hegemoni AS mulai pudar. Namun Chomsky mengingatkan bahwa kekuasaan bukan hanya soal militer, tapi juga soal kendali informasi, struktur ekonomi global, dan jaringan kekuasaan yang tersebar.
Di tengah konflik Ukraina, perang Gaza, dan ketegangan di Asia-Pasifik, pandangan Chomsky menjadi semakin relevan: siapa sebenarnya yang mengatur dunia, dan untuk siapa kekuasaan itu dijalankan?
Who Rules the World? bukanlah bacaan ringan. Ia menantang cara pandang, mengguncang moralitas palsu, dan memaksa pembaca untuk berpikir ulang tentang narasi resmi yang disebarkan oleh negara, media, dan pendidikan.
Chomsky tidak menawarkan solusi langsung, tapi ia membekali pembaca dengan senjata paling mendasar dalam perjuangan melawan penindasan: kesadaran kritis.
Kritik terhadap Konflik Israel-Palestina
Kritik terhadap pandangan Noam Chomsky mengenai konflik Israel-Palestina, khususnya dalam konteks Hamas dan fundamentalisme Islam, berangkat dari anggapan bahwa Chomsky terlalu fokus mengkritik imperialisme Barat dan mengabaikan atau meremehkan bahaya ekstremisme agama yang juga merusak perdamaian.
Ulasan kritis terhadap posisi Chomsky dengan sorotan pada dimensi Islamisme radikal dalam Hamas meliputi:
- Chomsky dan Narasi Anti-Imperialisme
Noam Chomsky dikenal karena kritik tajamnya terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan dukungan tanpa syarat AS terhadap Israel. Dalam banyak tulisan dan wawancaranya, Chomsky menggambarkan Israel sebagai kekuatan kolonial dan penjajah, dan menyorot penderitaan rakyat Palestina dalam konteks penindasan sistematis.
Namun, kritik ini kerap dianggap tidak seimbang. Fokus Chomsky pada kejahatan negara (state crimes) membuatnya sering mengabaikan agensi aktor non-negara, seperti kelompok Islamis ekstrem yang juga memperparah konflik dan menghambat solusi damai.
- Mengabaikan Bahaya Ideologi Hamas
Chomsky mengakui kehadiran Hamas dalam konflik, tetapi sering menggambarkan kelompok ini sebagai respons reaktif terhadap penjajahan Israel, bukan sebagai kekuatan aktif yang memiliki agenda ideologis berbahaya. Padahal: