Tidak menyuarakan secara jelas pelanggaran Hamas terhadap hak-hak perempuan, kebebasan pers, dan oposisi politik di Gaza.
Muslim progresif menganggap pendekatan semacam itu tidak adil bagi rakyat Palestina sendiri, karena melanggengkan kekuasaan kelompok yang menindas mereka secara internal, atas nama perlawanan.
Perspektif Muslim Progresif: Islam Bukan Kekerasan, Hamas Bukan Islam
Para pemikir seperti Mustafa Akyol (penulis Islam Without Extremes) menolak narasi bahwa Islam harus diartikulasikan sebagai sistem politik yang otoriter. Ia berargumen bahwa:
"Islam adalah jalan spiritual, bukan proyek negara. Ketika ia dijadikan alat kekuasaan, ia kehilangan moralitasnya."
Dalam konteks ini, Hamas justru dianggap merusak citra Islam dengan mencampurkan jihadisme militan, doktrin kebencian, dan represi terhadap masyarakatnya sendiri, khususnya perempuan, minoritas, dan kelompok sekuler.
Muslim progresif menyatakan bahwa:
- Hamas tidak mewakili aspirasi Islam, melainkan ideologi Salafi-jihadis yang seakar dengan pola pikir Taliban dan Al-Qaeda.
- Pembebasan Palestina tidak harus identik dengan pendirian negara Islam berdasarkan hukum syariah versi literal yang otoriter.
Islam Progresif: Alternatif Narasi Pembebasan
Tokoh-tokoh seperti An-Na'im dan Arkoun menawarkan kerangka alternatif untuk pembebasan: Islam yang menjunjung demokrasi, HAM, dan pemisahan otoritas agama dari negara. Bagi mereka, perjuangan Palestina seharusnya:
- Tidak dikendalikan oleh faksi agama eksklusif seperti Hamas.
- Berbasis pada konstitusionalisme sekuler, perlindungan minoritas, dan penghargaan atas pluralisme agama dan etnis.
- Didorong oleh prinsip keadilan universal, bukan ideologi eksklusif yang meminggirkan kelompok lain.
Melampaui Polaritas, Menuntut Etika Ganda
Kritik terhadap Israel dan AS, seperti yang dilakukan Chomsky, tetap penting dan relevan. Namun, jika kita sungguh mendukung rakyat Palestina, maka kita juga harus membela mereka dari represi internal oleh aktor-aktor seperti Hamas.