Mohon tunggu...
Andi Fitriyanto
Andi Fitriyanto Mohon Tunggu... Penulis

Pengarang Satire Kontemporer

Selanjutnya

Tutup

Book

Ulasan Buku Who Rules the World? karya Noam Chomsky

16 Agustus 2025   13:55 Diperbarui: 16 Agustus 2025   13:55 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Andi Fitriyanto

Dalam buku Who Rules the World? Noam Chomsky sekali lagi menggugat narasi dominan mengenai politik internasional, kekuasaan, dan imperialisme. Sebagai linguis, intelektual publik, dan kritikus sosial paling tajam dari Amerika Serikat, Chomsky membongkar struktur kekuasaan global yang dikendalikan secara hegemonik oleh Amerika Serikat, seraya menunjukkan bahwa propaganda, penindasan, dan kekerasan adalah instrumen utama dari dominasi tersebut.

Buku ini merupakan kumpulan esai yang sebelumnya diterbitkan dalam berbagai kesempatan, namun disusun ulang menjadi sebuah narasi konsisten tentang bagaimana Amerika---dibantu oleh media, korporasi, dan elite politik---mempertahankan kekuasaan globalnya sambil menutupi kejahatannya di balik jargon "penjaga demokrasi" atau "polisi dunia".

Tema Utama: Kekaisaran dalam Selubung Demokrasi

Chomsky menunjukkan bahwa dalam lanskap geopolitik kontemporer, kekuasaan tidak dijalankan oleh hukum internasional, norma, atau etika, melainkan oleh kepentingan ekonomi dan militer dari negara-negara adidaya, terutama AS. Amerika menurut Chomsky bukan hanya negara adidaya, tapi kekaisaran modern yang membungkus ekspansionismenya dengan retorika moralitas.

Beberapa poin penting yang ditekankan:

  • Amerika sebagai Negara Teroris: Chomsky membandingkan kebijakan luar negeri AS dengan bentuk-bentuk terorisme negara. Dukungan terhadap kediktatoran brutal, invasi militer, dan penggunaan drone adalah bagian dari "terorisme sah".
  • Standar Ganda Moral: Pelanggaran HAM dan invasi oleh musuh (misalnya Rusia) dikutuk keras, tetapi tindakan yang serupa atau bahkan lebih parah oleh AS atau sekutunya dianggap wajar.
  • Peran Media dan Intelektual Publik: Media arus utama AS menjadi alat propaganda yang menutupi realitas kejam dari kebijakan luar negeri. Para intelektual dan akademisi pun tidak luput menjadi bagian dari sistem pembenaran ini.
  • Israel-Palestina: Dukungan tanpa syarat AS terhadap Israel, bahkan ketika negara tersebut melanggar hukum internasional dan menindas warga Palestina, menjadi contoh nyata dari kemunafikan global.

Studi Kasus: Praktik Kekuasaan Global AS

Beberapa konflik dan kebijakan luar negeri yang dianalisis secara tajam oleh Chomsky antara lain:

  • Invasi Irak (2003): Digambarkan sebagai kejahatan perang besar yang didasarkan pada kebohongan, tetapi tidak pernah dipertanggungjawabkan.
  • Latin Amerika: Wilayah yang selama puluhan tahun dijadikan halaman belakang AS untuk percobaan kudeta, sabotase ekonomi, dan intervensi brutal.
  • Asia Timur dan Afrika: Dari Vietnam hingga Somalia, Chomsky menunjukkan pola konsisten penggunaan kekuatan demi kepentingan geopolitik dan korporasi multinasional.

Kekuatan Buku

  1. Dokumentasi Kuat: Setiap argumen Chomsky didukung oleh referensi yang jelas, termasuk laporan dari badan internasional, dokumen pemerintah, dan berita yang sering diabaikan media mainstream.
  2. Kritik Mendalam terhadap Sistem: Buku ini tidak hanya menyerang tokoh atau partai politik tertentu, melainkan keseluruhan sistem kekuasaan global yang dikuasai oleh negara-negara imperialis dan elite neoliberal.
  3. Perspektif Non-Barat: Chomsky mengajak pembaca untuk melihat dunia dari sudut pandang rakyat tertindas, bukan dari narasi elit Washington atau London.

Kelemahan Buku

Beberapa pengamat menilai pendekatan Chomsky terlalu pesimis dan hitam-putih. Ia kadang dianggap meremehkan aktor lokal dalam konflik internasional dan terlalu fokus pada "kesalahan Amerika". Namun, bagi mereka yang ingin memahami bagaimana dunia benar-benar dijalankan---di luar mitos-mitos kemerdekaan, HAM, dan demokrasi liberal---buku ini menjadi semacam "kacamata kritis".

Relevansi Saat Ini

Dalam dunia yang semakin multipolar---dengan naiknya China dan Rusia---banyak yang percaya bahwa hegemoni AS mulai pudar. Namun Chomsky mengingatkan bahwa kekuasaan bukan hanya soal militer, tapi juga soal kendali informasi, struktur ekonomi global, dan jaringan kekuasaan yang tersebar.

Di tengah konflik Ukraina, perang Gaza, dan ketegangan di Asia-Pasifik, pandangan Chomsky menjadi semakin relevan: siapa sebenarnya yang mengatur dunia, dan untuk siapa kekuasaan itu dijalankan?

Who Rules the World? bukanlah bacaan ringan. Ia menantang cara pandang, mengguncang moralitas palsu, dan memaksa pembaca untuk berpikir ulang tentang narasi resmi yang disebarkan oleh negara, media, dan pendidikan.

Chomsky tidak menawarkan solusi langsung, tapi ia membekali pembaca dengan senjata paling mendasar dalam perjuangan melawan penindasan: kesadaran kritis.

Kritik terhadap Konflik Israel-Palestina

Kritik terhadap pandangan Noam Chomsky mengenai konflik Israel-Palestina, khususnya dalam konteks Hamas dan fundamentalisme Islam, berangkat dari anggapan bahwa Chomsky terlalu fokus mengkritik imperialisme Barat dan mengabaikan atau meremehkan bahaya ekstremisme agama yang juga merusak perdamaian.

Ulasan kritis terhadap posisi Chomsky dengan sorotan pada dimensi Islamisme radikal dalam Hamas meliputi:

  1. Chomsky dan Narasi Anti-Imperialisme

Noam Chomsky dikenal karena kritik tajamnya terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan dukungan tanpa syarat AS terhadap Israel. Dalam banyak tulisan dan wawancaranya, Chomsky menggambarkan Israel sebagai kekuatan kolonial dan penjajah, dan menyorot penderitaan rakyat Palestina dalam konteks penindasan sistematis.

Namun, kritik ini kerap dianggap tidak seimbang. Fokus Chomsky pada kejahatan negara (state crimes) membuatnya sering mengabaikan agensi aktor non-negara, seperti kelompok Islamis ekstrem yang juga memperparah konflik dan menghambat solusi damai.

  1. Mengabaikan Bahaya Ideologi Hamas

Chomsky mengakui kehadiran Hamas dalam konflik, tetapi sering menggambarkan kelompok ini sebagai respons reaktif terhadap penjajahan Israel, bukan sebagai kekuatan aktif yang memiliki agenda ideologis berbahaya. Padahal:

Hamas bukan hanya gerakan perlawanan, tetapi organisasi dengan ideologi Islamisme teokratik yang menginginkan pembentukan negara Islam berdasarkan hukum syariah.

Dalam Piagam Hamas (1988) yang secara eksplisit menyerukan kehancuran Israel, terdapat banyak unsur antisemitisme, glorifikasi jihad, dan penolakan terhadap solusi dua negara.

Hamas secara sistematis menggunakan propaganda agama dan indoktrinasi radikal, terutama kepada anak-anak dan remaja, yang memperkuat siklus kekerasan dan kebencian.

Mengabaikan dimensi ini bisa membuat analisis Chomsky tampak naif atau tidak lengkap. Menyederhanakan Hamas hanya sebagai produk penjajahan mengaburkan fakta bahwa kelompok ini juga melakukan pelanggaran HAM dan represi terhadap rakyat Palestina sendiri, khususnya di Gaza.

  1. Kekerasan dan Represi Internal oleh Hamas

Di bawah kekuasaan Hamas, warga Gaza mengalami represi politik, pelanggaran hak-hak perempuan, penindasan terhadap oposisi, dan pengekangan kebebasan berekspresi.

Praktik eksekusi tanpa pengadilan, penyiksaan tahanan, dan kontrol moral berbasis agama kerap terjadi, namun minim mendapat sorotan dalam narasi Chomsky.

Kritikus berpendapat bahwa fundamentalisme agama dalam tubuh Hamas bukan hanya ancaman bagi Israel, tapi juga bagi masyarakat Palestina sendiri, terutama kaum muda, perempuan, dan kelompok minoritas.

  1. Ketidakseimbangan Moral dalam Kritik Chomsky

Sebagai seorang humanis dan pendukung HAM, Chomsky tampaknya tidak memberikan porsi kritik yang setara terhadap pelanggaran oleh Hamas dibandingkan dengan negara-negara Barat atau Israel. Ini menciptakan kesan bahwa:

Kekerasan negara dianggap lebih kejam, sementara kekerasan berbasis agama atau kelompok bersenjata dianggap sebagai perlawanan sah.

Dalam realitas konflik modern, baik kekerasan negara maupun kekerasan ideologis non-negara sama-sama menghancurkan dan tidak bisa dibenarkan.

Dengan tidak menyoroti ekstremisme agama sebagai elemen penting dalam konflik, Chomsky berisiko melemahkan daya analisis etisnya, terutama dalam konteks pluralisme dan nilai-nilai sekularisme yang ia sendiri junjung tinggi.

  1. Dampak Global Islamisme Militan

Fundamentalisme Islam seperti yang dianut Hamas bukanlah entitas lokal semata. Ia merupakan bagian dari jaringan ideologi transnasional yang menginspirasi kekerasan di berbagai wilayah: dari Al-Qaeda, Taliban, hingga ISIS. Dengan kata lain, toleransi terhadap gerakan seperti Hamas secara tidak langsung bisa memberi legitimasi pada ideologi kekerasan global.

Banyak analis berpendapat bahwa mengkritik Zionisme tanpa mengkritik Islamisme radikal akan mengaburkan penyebab konflik sebenarnya dan malah memicu polarisasi sektarian yang berkelanjutan.

Perlunya Keseimbangan Moral dan Analitis

Kritik terhadap Noam Chomsky dalam isu Israel-Palestina bukan menolak urgensi perlawanan terhadap kolonialisme dan ketidakadilan struktural. Namun, perjuangan anti-penjajahan harus dibarengi dengan penolakan terhadap fundamentalisme agama yang juga menindas dan eksploitatif.

Agar benar-benar berpihak pada rakyat, analisis konflik harus melampaui narasi biner "penjajah vs tertindas". Rakyat Palestina berhak atas kemerdekaan, tapi juga berhak terbebas dari represi dan ideologi yang menindas dari dalam.

Perspektif Muslim Progresif: Menolak Kolonialisme, Mengkritik Islamisme

Banyak intelektual Muslim progresif seperti Abdullahi Ahmed An-Na'im, Mohammed Arkoun, Mustafa Akyol, dan Maulana Wahiduddin Khan menekankan bahwa perjuangan melawan penjajahan dan ketidakadilan tidak boleh dijalankan dengan menggantinya dengan penindasan baru yang berselubung agama.

Mereka mengajukan tiga prinsip utama:

  1. Penolakan terhadap Islamisme sebagai ideologi politik teokratis yang mereduksi Islam menjadi alat kekuasaan.
  2. Pembelaan atas hak-hak individu, pluralisme, dan kebebasan berpikir dalam kerangka nilai-nilai Islam yang rasional dan welas asih.
  3. Kritik terhadap kelompok seperti Hamas yang menggunakan label Islam untuk menjustifikasi kekerasan dan tirani dalam negeri.

Chomsky vs Kritik Muslim Progresif: Ketimpangan Analisis

Noam Chomsky, dalam semangat anti-imperialismenya, memang menyoroti penderitaan Palestina secara tajam. Namun ia cenderung:

Menganggap kekerasan dari Hamas sebagai reaksi wajar akibat penjajahan Israel, tanpa menyelidiki akar ideologisnya yang tidak kompatibel dengan nilai demokrasi dan hak asasi.

Tidak menyuarakan secara jelas pelanggaran Hamas terhadap hak-hak perempuan, kebebasan pers, dan oposisi politik di Gaza.

Muslim progresif menganggap pendekatan semacam itu tidak adil bagi rakyat Palestina sendiri, karena melanggengkan kekuasaan kelompok yang menindas mereka secara internal, atas nama perlawanan.

Perspektif Muslim Progresif: Islam Bukan Kekerasan, Hamas Bukan Islam

Para pemikir seperti Mustafa Akyol (penulis Islam Without Extremes) menolak narasi bahwa Islam harus diartikulasikan sebagai sistem politik yang otoriter. Ia berargumen bahwa:

"Islam adalah jalan spiritual, bukan proyek negara. Ketika ia dijadikan alat kekuasaan, ia kehilangan moralitasnya."

Dalam konteks ini, Hamas justru dianggap merusak citra Islam dengan mencampurkan jihadisme militan, doktrin kebencian, dan represi terhadap masyarakatnya sendiri, khususnya perempuan, minoritas, dan kelompok sekuler.

Muslim progresif menyatakan bahwa:

  • Hamas tidak mewakili aspirasi Islam, melainkan ideologi Salafi-jihadis yang seakar dengan pola pikir Taliban dan Al-Qaeda.
  • Pembebasan Palestina tidak harus identik dengan pendirian negara Islam berdasarkan hukum syariah versi literal yang otoriter.

Islam Progresif: Alternatif Narasi Pembebasan

Tokoh-tokoh seperti An-Na'im dan Arkoun menawarkan kerangka alternatif untuk pembebasan: Islam yang menjunjung demokrasi, HAM, dan pemisahan otoritas agama dari negara. Bagi mereka, perjuangan Palestina seharusnya:

  • Tidak dikendalikan oleh faksi agama eksklusif seperti Hamas.
  • Berbasis pada konstitusionalisme sekuler, perlindungan minoritas, dan penghargaan atas pluralisme agama dan etnis.
  • Didorong oleh prinsip keadilan universal, bukan ideologi eksklusif yang meminggirkan kelompok lain.

Melampaui Polaritas, Menuntut Etika Ganda

Kritik terhadap Israel dan AS, seperti yang dilakukan Chomsky, tetap penting dan relevan. Namun, jika kita sungguh mendukung rakyat Palestina, maka kita juga harus membela mereka dari represi internal oleh aktor-aktor seperti Hamas.

Seperti yang diungkapkan oleh Abdullahi An-Na'im:

"Tidak ada pembebasan sejati jika masyarakat hanya berpindah dari kolonialisme asing ke penindasan domestik yang mengatasnamakan Tuhan."

Dengan demikian, narasi progresif Muslim mengajak kita melampaui polaritas 'Zionis vs Islam', menuju solidaritas kemanusiaan yang mengutamakan hak, kebebasan, dan keadilan untuk semua --- tanpa terkecoh oleh klaim moral dari kedua sisi kekerasan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun