Sore itu, langit Jakarta mulai berwarna jingga. Seorang siswi SMA bernama Yaya berdiri terpaku di sebuah lapangan luas, menatap kokoh sebuah tugu tinggi yang menjulang. Rombongan sekolahnya baru saja selesai melakukan kunjungan sejarah, namun langkah Yaya terasa berat meninggalkan tempat itu. Ada sesuatu dari tugu itu yang membuatnya ingin tetap berdiri di sana lebih lama.
Dari bawah, Yaya mendongak ke atas. Batu dan logam yang membentuk tugu itu tampak dingin, tetapi justru dari sanalah muncul hangat yang aneh. Dalam lamunannya, ia mendengar riuh suara rakyat dari masa lalu: teriakan-teriakan yang penuh semangat, derap langkah pemuda yang berani, dan lantang suara pemimpin yang menyerukan kebebasan.
Bayangan itu semakin jelas di pikirannya. Ia seakan melihat pemuda-pemudi berkumpul, menulis selebaran yang berisi pesan perlawanan, lalu membagikannya diam-diam meski resiko ditangkap selalu menghantui. Ia mendengar suara-suara tegas di rapat rahasia yang menyerukan persatuan. Ia mendengar teriakan "Merdeka atau mati!" yang menggetarkan dada, hingga ia bisa merasakan bagaimana udara kala itu penuh ketegangan, antara keberanian dan kematian.
Yaya menutup mata sejenak. Ia sadar, semua itu hanya imajinasi. Namun getarannya nyata. Tugu yang tampak bisu itu sesungguhnya menyimpan cerita yang tak bisa lagi diucapkan dengan kata-kata. Ia bukan sekadar bangunan, melainkan cahaya dari masa lalu yang menerangi jalan generasi masa kini.
Saat teman-temannya sibuk berfoto, Yaya duduk di bangku taman sambil menulis di bukunya:
"Sejarah tidak akan pernah mati. Ia hidup dalam setiap tugu, dalam setiap tanah, dan dalam darah bangsa ini. Kemerdekaan bukan akhir dari perjuangan, melainkan awal dari tanggung jawab. Kita tidak lagi mengangkat senjata, tetapi kita wajib menjaga negeri ini dengan ilmu, kerja keras, dan persatuan. Jika generasi muda lupa pada sejarah, maka cahaya dari masa lalu akan padam, dan masa depan pun akan gelap."
Tangannya sedikit bergetar ketika menutup buku catatannya. Kata-kata itu bukan sekadar tugas sekolah, melainkan janji pada dirinya sendiri. Ia merasa seolah-olah para pejuang yang telah gugur menitipkan pesan agar ia melanjutkan perjuangan dengan cara berbeda.
Yaya kembali berdiri, menatap tugu yang kini disinari cahaya lampu. Di hadapannya, monumen itu tetap berdiri tegak, seolah menjadi penjaga waktu. Dalam hatinya, ia berbisik, "Aku tidak boleh lupa. Aku harus melanjutkan perjuangan, meski dengan caraku sendiri."
Cahaya lampu semakin terang ketika malam mulai turun. Bagi Yaya, cahaya itu bukan sekadar penerangan, melainkan pengingat. Pesan abadi dari masa lalu yang akan terus membimbingnya menjaga Indonesia agar tetap berdiri, setegak tugu yang kini ia pandang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI