Mohon tunggu...
Annisa A
Annisa A Mohon Tunggu... Lainnya - Hamba

Bekerja sebagai ASN. Hidup seperti manusia pada umumnya.

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Cerpen: Mencari Pemenang

18 Juni 2023   21:47 Diperbarui: 18 Juni 2023   22:13 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash.com/@keisj4

Seharusnya, sekarang giliran Nina untuk menceritakan rahasia terdalamnya pada sahabatnya, Yuna. Akan tetapi, setelah mendengar apa yang diucapkan oleh sahabatnya itu, bahwa ia telah lama menyukai seorang lelaki yang sama-sama mereka kenal, Nina kehilangan keberanian untuk berkata-kata.

"Oh, ayolah! Kita sudah berjanji akan menjaga rahasia masing-masing!" Seru Yuna setengah kecewa.

Hari itu, sebuah ide tercetus di kepala Yuna, bahwa ia dan Nina akan saling membagi rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun demi 'merayakan' persahabatan mereka yang sudah sekian tahun sekaligus melepaskan beban pikiran mengantisipasi sidang skripsi mereka yang seharusnya tinggal beberapa bulan lagi.

Nina adalah seorang yang pendiam, amat pendiam hingga ia tidak memiliki banyak teman. Ia bukannya punya musuh atau tertindas, latar belakangnya juga biasa-biasa saja, ia hanya tidak pandai membawa diri di hadapan orang-orang. Adalah Yuna, yang pertama kali menariknya dari kenyamanannya dengan dunianya sendiri dan mulai merasakan indahnya menikmati banyak hal bersama dengan seorang teman.

Menyadari itu semua, sungguh sebuah kesialan bagi Nina bahwa rahasia yang ia persiapkan untuk dibagi adalah hal yang sama dengan yang diberikan oleh Yuna, bahwa mereka menyukai orang yang sama.


Maka, otaknya berpikir cepat dan ia pun membagikan sebuah cerita memalukan tentangnya semasa SMP. Yuna tertawa sambil meminta maaf karena merasa apa yang diceritakan Nina adalah sesuatu yang lucu, bagitu pun Nina ikut tertawa bersama Yuna, walau sesungguhnya perasaan malunya kalah besar dibandingkan perasaan sedih yang tiba-tiba memenuhi hatinya.

Malam itu, Nina lebih sulit tertidur dibanding biasanya. Ia berbaring menatap langit-langit plafon kamar kontrakannya. Wajah Yuna terbayang dibenaknya, bersama wajah seorang laki-laki yang hampir setahun belakangan membuatnya belajar untuk menyembunyikan perasaan suka dan salah tingkah agar tidak dipandang aneh oleh orang sekitar.

Sudah jelas, Dani lebih cocok dengan Yuna.

Batin Nina, tidak yakin apakah ia sedang merendahkan dirinya sendiri atau sudah memantapkan hati untuk lebih memilih sahabat dibandingkan mengejar cinta.

Langkah selanjutnya sudah terbentang jelas di kepala Nina, ia akan melupakan perasaannya terhadap Dani. Seperti itulah selama ini cara hidup Nina, ia akan mengupayakan segala cara untuk menghindar dari segala macam konflik dan drama. Ia tidak tertarik menyimpan ambisi terhadap apapun, baginya lebih mudah memilih menghadapi emosi diri sendiri daripada harus berurusan dengan emosi orang lain yang tidak bisa ia terka. Maka Nina pun berjuang sendirian seperti biasa.

Menghilangkan rasa tentu bukan hal yang mudah. Apalagi Dani adalah seorang yang cukup dekat dengan Nina dan Yuna dari banyak hal. Mereka kuliah di jurusan yang sama, memiliki aktifitas yang sama di luar akademik, dan beberapa kali jalan bersama meskipun diiringi juga oleh teman-teman mereka yang lain.

Setelah pengakuan Yuna kemarin, sekarang rasanya lebih mudah melihat rasa itu pada senyuman Yuna saat berbicara dengan Dani, dan entah mengapa tiba-tiba menjadi mudah pula bagi Nina untuk melihat binar yang lain pada mata Dani saat menatap sahabatnya itu.

Hari-hari dilalui Nina dengan memberi mantra pada dirinya sendiri, bahwa dia akan berhenti menyukai Dani. Yuna jauh lebih berhaga untuknya dibandingkan Dani. Yuna lebih banyak membawa kebahagiaan dan petualangan dalam hidupnya selama ini. Nina sudah mengenal Yuna dari SMA, walau saat itu ia masih menganggap Yuna seperti teman-temannya yang lain. Tetapi ternyata Yuna menunjukkan kepedulian lebih kepadanya dan tanpa sadar mereka sudah mengakui satu sama lain sebagai sahabat. Dari sisi manapun, melepaskan Dani jauh lebih mudah daripada harus merasa canggung dengan Yuna.

Nina cukup merasa bangga saat ia berhasil melalui siding skripsinya dengan lancar tanpa membiarkan sisi hidupnya yang lain mengganggu kehidupan perkuliahannya, tapi ia jauh lebih bangga lagi saat bisa tersenyum ketika Yuna menyampaikan kabar gembira dengan wajah berseri-seri: Dani berniat melamar Yuna dan akan segera bertemu dengan orang tuanya. Yuna bercerita bagaimana Dani menyampaikan perasaannya, dan tanpa basa-basi ingin segera mengajaknya menikah.

"Tidakkah menurutmu ini agak tidak biasa? Bukankah sangat jarang ada orang menikah tanpa pacaran terlebih dulu?"

"Tidak juga. Kalian kan sudah lama kenal. Ini namanya beruntung, Yun. Kamu beruntung menyukai orang yang serius dan tidak neko-neko seperti Dani,"

Dan percakapan selanjutnya adalah tentang bagaimana Yuna baru menyadari bahwa ternyata selama ini Dani juga menyukainya, serta Nina yang berkali-kali menimpali bahwa ia mengingat beberapa petunjuk yang seharusnya membuat mereka sadar bahwa Dani memiliki rasa terhadap Yuna.

Setelah sekian kali Nina berusaha mengusir perasaan hampa saat ia sedang sendirian, sebuah sudut pandang lain mengusiknya. Sebuah kalimat yang sebenarnya diucapkan sepintas lalu oleh Dani, saat mereka bersama teman-teman lainnya termasuk Yuna sedang berbincang di sebuah kafe.

"Apa yang akan kamu lakukan setelah kuliah ini tanpa Yuna, Nin?"

Baru tersadar oleh Nina, bahwa selama ini ia terbiasa melakukan banyak hal bersama-sama dengan Yuna. Tidak sulit karena mereka punya jadwal yang sama, kalaupun sesekali Yuna melakukan kegiatan yang berbeda maka Nina hanya akan berdiam diri di kamar kontrakannya, entah itu menonton film atau membaca buku sendirian. Nina tidak pernah memiliki lingkaran dengan orang lain tanpa Yuna.

Pertanyaan Dani bukanlah sesuatu yang harus dijawab oleh Nina, karena sesaat setelah itu mereka semua melanjutkan perbincangan dengan hal lain. Banyak bernostalgia dan membayangkan rencana masa depan, tanpa Nina yang ikut serta dalam perbincangan, tentu saja. Nina akhirnya menemukan fakta lain, bahwa ia sepertinya bukan hanya kehilangan kesempatan mengejar cinta, tapi juga berpotensi kehilangan Yuna. Ini bukan hanya tentang Yuna yang akan menikah dengan Dani, tapi juga kehidupan setelah perkuliahan yang pastinya semua orang akan sibuk mengejar ambisi dan cita-cita masing-masing.

Apa yang akan dilakukan Nina tanpa Yuna?

Sebelum ia bertemu Yuna, Nina masih bisa menjalani aktivitas seperti biasa karena kehidupan anak sekolah sudah memiliki jadwal dan linimasa yang ditentukan, tetapi setelah lulus kuliah ia harus merencanakan dan mengatur sendiri kehidupannya.

Sekian tahun berlalu, setelah sempat merasakan momen-momen menjadi pengangguran, Nina akhirnya memiliki pekerjaan sebagai seorang karyawan di sebuah perusahaan. Bukan perusahaan besar apalagi bergengsi, tapi sangat cukup untuk membuat Nina merasakan kehidupan bekerja yang jauh berbeda dengan kehidupan sekolah dan kuliah.

Saat ini Nina sudah jarang bertemu Yuna karena mereka berada di kota yang berbeda. Yuna tinggal di luar kota mengikuti suaminya, Dani, yang pindah mengikuti tuntutan pekerjaan. Nina yakin Yuna hidup bahagia meski hanya sebagai ibu rumah tangga. Ia tahu Yuna bukan tipe wanita yang menyayangkan gelar sarjananya tidak digunakan untuk bekerja dan menduduki sebuah jabatan.

Semakin Nina memikirkan Yuna, semakin ia merasakan betapa selama ini ia mengagumi Yuna melebihi apa yang ia sadari. Memikirkan Yuna dengan kehidupan barunya, bersama suami yang dicintai dan anaknya yang hampir berumur 1 tahun, setidaknya membuat Nina cukup merasa tenang. Walaupun sekarang kehidupannya mulai hampir terasa seperti sebelum ada Yuna.

Nina tidak memiliki seseorang yang memiliki kedekatan sepertinya dan Yuna di tempat kerjanya. Ia memang tidak terlibat masalah apapun di tempat kerja. Seperti biasa, ia menjalani hari-hari dengan menghindari konflik. Di saat rekan kerjanya banyak mengeluh karena tugas yang menumpuk, lalu menyimpan rasa jengkel dengan atasan yang dicap tidak berperasaan, lantas bergosip di sana-sini dengan rekan kerja lain, Nina lebih memilih melaksanakan tugasnya dalam diam. Sesekali membawa kerjaan ke rumahnya untuk diselesaikan atau mengambil lembur sukarela tanpa harus beradu mulut dengan staf lain mengenai siapa sebenarnya yang harus mengerjakan tugas tertentu.

Nina merasa masih harus bersyukur karena sesekali ia bisa menelepon Yuna dan mereka bisa berbicara banyak hal meski tidak bertatap muka secara langsung. Itu pun mulai amat jarang dikarenakan Yuna yang sibuk mengurus anak.

Hingga suatu ketika, sebuah kabar datang pada Nina seperti petir yang menyambar di siang bolong. Sebuah kabar yang sulit dicerna dan mampu membuat hari-harinya tiba-tiba menjadi hampa seketika. Yuna terlibat dalam kecelakaan yang merenggut nyawanya, meninggalkan anaknya kehilangan seorang ibu dan menjadikan Dani seorang duda yang depresi karena kehilangan istri yang dicintainya.

Kabar itu tersebar cepat di kalangan teman-teman satu angkatan kuliahnya. Sebagian menyayangkan Yuna yang meninggal di usia muda, sebagian mengasihani anaknya yang belum memiliki ingatan membekas bersama ibunya, sebagian lainnya menyoroti bagaimana kehidupan Dani berubah setelah ditinggal Yuna. Lelaki itu kesulitan menjalani aktivitas hariannya. Anaknya harus dititipkan di rumah orang tua Yuna agar bisa dirawat dengan baik.

Meskipun posisi Nina berbeda dengan Dani, tapi ia tidak kalah kehilangannya. Namun, ia tidak memiliki pilihan lain selain melanjutkan kehidupannya yang semakin terasa tidak berwarna.

Satu setengah tahun setelah kepergian Yuna, Nina bertemu dengan Dani secara tidak sengaja di sebuah mall. Saat itu Nina baru saja beranjak dari toko buku besar di dalam mall itu ketika ia berpapasan dengan Dani yang menggandeng tangan seorang anak gadis yang lucu. Dengan melihat sekali saja, Nina bisa merasakan kemiripan anak itu dengan Yuna. Senyumnya yang manis dan pembawaannya yang ceria, benar-benar persis seperti ibunya walau anak itu belum genap berumur 3 tahun. Bahkan di pipinya ada lesung pipit pada posisi yang sama dengan mendiang ibunya.

Nina dan Dani berbincang sebentar, sekedar bertukar kabar masing-masing. Saat itulah Nina melihat Dani sepertinya sudah mulai menata hidupnya kembali, ia terlihat berusaha tegar demi anaknya. Dan anak itu, yang bernama Aqila, dengan cepat mengakrabkan diri dengan Nina. Terakhir Nina melihat Aqila saat anak itu bahkan belum bisa berdiri, sekarang ia sudah lincah berjalan bersama ayahnya.

Setelah pertemuan itu, beberapa kali Dani dan Nina terlibat percakapan melalui pesan singkat. Terkadang hanya membalas story yang berakhir dengan beberapa kali pesan yang berbalas, terkadang sedikit bernostalgia tentang teman-teman atau aktivitas semasa kuliah.

Hingga sekali lagi Nina harus tersadar bahwa tidak ada hidup yang berjalan biasa-biasa saja. Suatu waktu Dani meminta bertemu karena ada hal penting yang ingin ia bicarakan. Dan isi pertemuan itu cukup untuk memenuhi pikiran Nina berbulan-bulan ke depan.

"Aqila butuh seorang ibu. Apakah kamu mau menikah denganku, dan merawat Qila seperti anakmu sendiri?"

Sungguh, Nina tidak yakin apa yang seharusnya ia rasakan.

Nina bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah ia sudah siap menikah, terlebih lagi dengan seseorang yang pernah mencintai dan dicintai sahabatnya sendiri? Pun ia bertanya, apakah Dani benar-benar sudah siap memulai hidup baru dan menerima kepergian Yuna seutuhnya?

Beberapa bulan dilewati Nina dengan penuh pertimbangan. Dani berkali-kali berusaha meyakinkannya bahwa ia sudah menerima Yuna hanya sebagai kenangan masa lalu dan siap kembali membagi hidupnya dengan orang lain. Bahkan orang tua Dani maupun orang tua Yuna sama-sama tidak merasa keberatan dengan keputusan Dani serta mendukung sepenuhnya niatan baik itu. Begitu pula orang tua Nina yang tidak mempermasalahkan jika memang Nina memutuskan akan menerima Dani menjadi suaminya.

Mungkin sudah saatnya aku memulai babak baru.

Akhirnya, Nina memantapkan hati menerima Dani beserta Aqila menjadi kehidupan barunya. Ia menikah dengan Dani dan menganggap Aqila sebagai anaknya sendiri.

Nina banyak mendapat bantuan dari keluarganya maupun keluarga Dani bahkan keluarga Yuna tentang bagaimana merawat seorang anak. Tentu mustahil baginya yang terbiasa hidup sendiri tiba-tiba bisa dengan sempurna beralih posisi menjadi seorang istri sekaligus ibu tanpa melewati fase mengandung terlebih dahulu.

Setelah diskusi panjang, Nina juga memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya dan fokus sebagai ibu rumah tangga seperti Yuna. Akan tetapi, perjuangannya yang sebenarnya bukanlah dalam hal mengurus rumah atau mengurus anak. Bagi Nina, hal paling drastis yang harus dilakukannya adalah membuka diri karena sekarang ia memiliki seorang suami yang sudah selayaknya menjadi tempat berbagi cerita dan rahasia. 

Nina membutuhkan waktu beberapa tahun untuk bisa nyaman bertukar pikiran dengan Yuna. Itupun masih banyak hal-hal yang ia simpan sendiri, karena ia merasa tidak ingin membebani Yuna dengan keluhan atau luapan emosi yang tidak perlu. Ia tidak pernah membayangkan apakah ia akan melewati fase yang sama ketika sudah berumah tangga.

Nina pun mencoba menyelam kembali ke masa lalu. Mengingat tahun di mana ia pernah menyukai Dani, mencoba membangkitkan kembali rasa itu agar ia bisa lebih cepat merasa nyaman dengan suaminya sendiri. Ketika rasa itu kembali muncul ke permukaan, Nina mendapati bahwa Dani masih seringkali menatap foto Yuna yang disimpannya di laci meja kamar dengan tatapan murung dan sedih.

"Biasanya gulanya dua sendok, tapi pakai yang kecil itu, Yuna biasa memakai yang ukuran itu sehingga manisnya pas," jawab Dani saat Nina bertanya standar rasa manis yang disukai oleh suaminya.

"Baiklah, tunggu sebentar, ya!" sahut Nina sambil beranjak membuat teh. Ia mengusahakan ekspresi dan intonasinya seramah mungkin, tapi di dalam hatinya ia mulai bisa merasakan bagaimana ia sepertinya harus mengikuti kebiasaan Yuna sebagai seorang istri.

Hanya butuh beberapa bulan bagi Nina untuk menyadari bahwa Dani sesungguhnya masih dibayang-bayangi oleh Yuna dan segala kenangannya. Hanya saja, Nina merasa tidak pantas untuk cemburu. Seperti yang sudah-sudah, ia simpan semua kebingungan dan konflik batin itu untuk dirinya sendiri. Ia tetap berusaha menjadi ibu yang baik bagi Aqila, menjadi istri yang baik untuk suaminya walau itu artinya ia harus mengikuti kebiasaan Yuna.

Alih-alih mendapat tempat curhat seperti yang pernah dibayangkannya saat ia dan Yuna sama-sama berkhayal tentang kehidupan di masa depan, yang didapati Nina hampir setiap malam adalah punggung suaminya yang tertidur pulas lebih cepat darinya. Dan ia hanya bisa berujar dalam hatinya,

Kamu berusaha terlalu keras, Dan, sampai tidak sadar bahwa sedang membohongi diri sendiri. Kalau begitu, biarkan aku juga berusaha keras untuk diriku sendiri, dan untuk Aqila.

-

Cerpen lainnya: Meramal Kematian, Rumah yang Berantakan, dan lain-lain.
Puisi lainnya: Membaca Wajahmu, Ada Malam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun