Mohon tunggu...
Annisa A
Annisa A Mohon Tunggu... Lainnya - Hamba

Bekerja sebagai ASN. Hidup seperti manusia pada umumnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Meramal Kematian

26 Desember 2021   12:00 Diperbarui: 6 Januari 2022   21:25 781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash.com/@juliakadel

"Juhri, kau tidak penasaran kapan kau akan mati?"

Kasim bertanya pada Juhri yang sedang duduk di atas jok motor sambil memainkan HP. Pertanyaan barusan bukan pertama kalinya yang pernah dilontarkan Kasim. Ia kerap mengajak orang bicara tentang kematian sampai orang-orang perlahan menghindarinya, termasuk para tukang ojek yang memangkal di tempat itu. Hanya Juhri yang dianggap mampu meladeni pertanyaan Kasim tanpa merasa bosan.

"Tidak, Man," sahut Juhri yang terbiasa memanggil Kasim dengan sebutan Paman Kasim.

"Kenapa mereka dan kau sama sekali tidak tertarik pada waktu kematian?"


Mendengar itu, Juhri tidak yakin Kasim sedang bertanya padanya atau pada diri sendiri.

"Kenapa Paman tertarik?" tanya Juhri.

Pertanyaan Juhri hanya basa-basi, ia sebenarnya tidak perlu bertanya untuk mengetahui jawabannya. Hampir semua orang tahu Kasim mulai sering membahas kematian semenjak kena PHK dan ditinggal mati istrinya.

Kasim tinggal sendiri karena dia dan istrinya tidak memiliki anak meskipun sudah lama menikah. Juhri menebak lelaki itu mulai bosan hidup dan merindukan mendiang istrinya yang meninggal karena sakit tiga bulan yang lalu.

"Aku ingin kembali pada Latifah," jawab Kasim. Benar sekali tebakan Juhri.

"Kalau mau mati sekarang kan tinggal bunuh diri saja." Udin yang berada tak jauh dari mereka dan dari tadi diam saja ikut menyahut.

"Bunuh diri tidak menjamin mati, tahu! Lihatlah si Juhri ini. Dia masih hidup padahal dua bulan lalu sudah sekarat," sergah Kasim.

Dua bulan yang lalu, Juhri ditemukan melakukan percobaan bunuh diri menggunakan pisau dapur lantaran patah hati ditinggal kawin oleh pacarnya yang sebelumnya berkata bersedia dinikahi olehnya. Ia masih bisa selamat karena orang tuanya membawanya tepat waktu ke rumah sakit. Setelah kejadian itu, Juhri sudah bisa melupakan rasa sakit hatinya dan kembali menjalani hidup meski hanya sebagai tukang ojek.

Berbeda dengan Juhri, Kasim tidak pernah berani untuk melakukan tindakan bunuh diri. Dia mengidamkan mati tanpa rasa sakit. Kasim juga masih percaya Tuhan dan ia tahu bunuh diri itu dosa.

"Apa kau pernah dengar cerita tentang Nini Aluh? Katanya dia bisa meramal kematian," tanya Kasim lagi pada Juhri.

"Pernah, tapi banyak orang bilang Nini Aluh tahu tentang kematian itu cuma kebetulan belaka. Lagipula katanya banyak yang meleset juga. Katanya yang datang hampir semuanya bukan orang sini. Terlalu banyak 'katanya'," jawab Juhri.

Kasim diam saja dan tampak memikirkan sesuatu. Ia sudah lama mendengar tentang Nini Aluh, tetapi tidak benar-benar mempertimbangkannya sampai saat ini. 

Sejak Kasim mempertanyakan kapan dia akan mati, opsi bertanya pada Nini Aluh masih ia kesampingkan karena takut terkena dosa syirik. Namun, sekarang ini rasa penasaran Kasim seperti pada puncaknya. Setiap hari ia bertanya-tanya kapan dia akan mati.

Dua hari kemudian, Kasim memutuskan untuk pergi ke rumah Nini Aluh. Ia mencari sendiri lokasi rumah wanita tua yang tinggal sendirian itu berbekal dengan ujaran warga sekitar, hingga Kasim sampai pada sebuah rumah kecil berdinding kayu yang pada beberapa bagian mulai lapuk dimakan rayap. Kasim mengetuk pintu dan langsung dijawab oleh suara seorang nenek-nenek yang tidak lain adalah Nini Aluh.

"Masuk!" sahut Nini Aluh dari dalam.

Perlahan, Kasim membuka pintu yang ternyata tidak dikunci dan masuk ke dalam rumah. Nini Aluh tidak berkata apa-apa, tapi ia memberikan pandangan yang seolah-olah bertanya apa tujuan Kasim datang padanya.

Tanpa ragu, Kasim berujar, "Saya ingin tahu kapan saya mati, Ni."

***

Pulang dari tempat Nini Aluh, perasaan Kasim lebih lega dari biasanya. Tanpa banyak ritual aneh atau permintaan macam-macam seperti yang dibayangkan Kasim sebelumnya, Nini Aluh hanya terdiam sebentar tatkala mendengar pertanyaan Kasim sebelum menjawab singkat: "Dalam rentang waktu dua minggu lagi."

Jika kebanyakan orang akan gelisah ketika mengetahui kapan kematiannya tiba, Kasim justru berbunga-bunga. Dalam bayangannya tidak lama lagi ia akan terlepas dari segala kesusahan di dunia, terutama dari kesepian ditinggal Latifah dan dari sulitnya mencari uang. Dia tidak perlu lagi menunggu tetangga mengirimkan makanan jika pendapatannya habis untuk bayar kontrakan.

Tiga hari pertama dijalani Kasim dengan bahagia. Hari keempat sebuah pemikiran mengusiknya. Bagaimana kalau setelah ia mati ia tidak bisa bertemu Latifah? Bagaimana kalau tempat Latifah dan dirinya kelak berbeda? Kasim ingat ketika Latifah masih hidup istrinya itu rajin sholat, sementara dirinya tidak.

Berangkat dari kekhawatiran itu, Kasim mulai membiasakan diri untuk shalat ke masjid. Setidaknya ia bisa memohon ampun pada Allah sebelum ia mati. 

Satu lagi kebahagiaan Kasim setelah mengetahui ramalan kematiannya, ia bisa mengatur waktu untuk bertobat dan melupakan hidupnya yang amburadul di masa lalu.

"Paman jadi sering ke masjid ya sekarang," kata Juhri suatu hari ketika ia sedang duduk di pangkalan ojek seperti biasa dengan Kasim. Hari itu adalah hari kedelapan setelah Nini Aluh memberikan ramalan untuk Kasim.

"Ya, itulah untungnya tahu kapan mati. Kita bisa merencanakan untuk tobat sebelum dijemput malaikat!" jawab Kasim dengan bangga.

"Paman jangan percaya begitu saja perkataan Nini Aluh itu. Kematian tidak bisa ditebak, Man. Buktinya, beberapa bulan lalu saya dengan yakin bisa mengakhiri hidup saya sendiri, ternyata saya ditakdirkan panjang umur," kata Juhri.

"Kau jadi orang bijak setelah gagal mati, Juh. Persis seperti kebanyakan kisah orang yang mati suri," sahut Kasim sambil mengelap kaca spionnya.

"Setelah kejadian bunuh diri yang gagal itu, orangtua saya jadi rajin dengar ceramah. Kadang di masjid, kadang video kajian dari internet diputar keras-keras. Mau tidak mau saya juga ikut mendengar. Katanya, kematian itu dirahasiakan agar kita selalu berusaha berbuat baik setiap saat," jelas Juhri.

Kasim tidak berkomentar apa-apa dan terus fokus membersihkan kaca spionnya yang satu lagi.

***

Baru siang tadi Kasim berbincang dengan Juhri di pangkalan ojek, sore harinya Kasim mendapat kabar bahwa Juhri kecelakaan motor dan meninggal di lokasi kejadian dengan kepala yang pecah akibat tergilas truk.

Mendengar kondisi Juhri yang mengenaskan membuat Kasim jadi khawatir, ia tidak mau mati dalam keadaan serupa. 

Maka Kasim pun menambah kuantitas ibadahnya. Ia mulai menjalankan sholat sunnah dengan mengamati marbut masjid setiap selesai adzan. Ia berharap tidak mati dalam keadaan menyakitkan dan mengenaskan seperti Juhri.

Waktu berlalu hingga Juhri menghitung hari itu sudah hari keempat belas dari kunjungannya ke rumah Nini Aluh. 

Sepanjang hari Kasim mencari-cari di mana sosok Malaikat Izrail yang kata orang akan menampakkan wujud kepada jiwa yang akan dicabutnya. Akan tetapi, hingga Kasim berada di atas kasurnya untuk bersiap tidur pada malam hari, malaikat itu tak muncul-muncul juga.

Mungkin aku akan mati saat tidur. Pikir Kasim.

Ia menjadi lega karena menurutnya mati ketika tidur adalah cara mati yang paling menenangkan. Tidur di alam dunia dan terbangun di alam yang lain.

Besoknya, ada perasaan kecewa saat Kasim mendapati dirinya terbangun dalam keadaan masih hidup. Kasim berencana akan mendatangi Nini Aluh hari itu. Akan tetapi, sebelum ia sempat menemui Nini Aluh, sebuah kabar yang ia dengar dari perbincangan tetangga pagi itu lebih dulu menghampirinya.

Nini Aluh dikabarkan meninggal begitu saja di rumahnya, tanpa ada tanda-tanda luka luar maupun luka dalam. Seorang warga yang biasanya mengantarkan makanan ke rumah Nini Aluh menemukan wanita tua itu telah tak bernyawa dalam posisi duduk bersandar di dinding rumahnya seorang diri.

Sebagian besar menganggap kematian Nini Aluh wajar mengingat usinya, sebagian kecil menduga bahwa Nini Aluh terkena Covid-19 dari para pengunjung yang berdatangan ke rumahnya untuk meminta ramalan kematian.

Lain lagi dengan Kasim. Ia sama sekali tidak memikirkan tentang usia tua Nini Aluh atau virus Covid yang masih ramai itu. Ia bertanya-tanya, apakah dua minggu yang lalu ramalan yang disampaikan Nini Aluh bukan untuk dirinya, melainkan untuk Nini Aluh sendiri?

Seharian dihabiskan Kasim duduk di teras masjid sambil bersandar pada salah satu pilarnya. Kabar kematian Nini Aluh menjadi pemicu banyaknya pikiran yang tiba-tiba menyeruak di kepalanya. Kilas balik saat ia terkena PHK, istrinya meninggal, lalu rasa penasarannya dengan kematiannya sendiri, Juhri yang tewas tergilas truk, hingga kematian Nini Aluh pada hari ketika seharusnya Kasim yang mati.

Kasim tidak pernah berada di masjid sampai sesore itu. Biasanya setelah sholat Ashar ia akan pergi dan kembali lagi ketika adzan Maghrib. Sore itu ia baru tahu bahwa ada sekelompok pemuda mahasiswa yang mengadakan Taman Pendidikan Al Qur'an untuk anak-anak di sekitar sana.

Berbagai kegiatan yang mereka lakukan tidak menarik perhatian Kasim. Akan tetapi, ketika anak-anak sudah selesai mengaji dan sudah berhamburan keluar masjid, Kasim bisa mendengar sedikit percakapan beberapa pemuda berpeci yang sedang berbincang dengan nada santai sambil melangkah keluar dari pintu utama masjid.

Ada satu kalimat yang sangat menarik perhatiannya yang nyambung dengan apa yang sedang dipikirkannya seharian ini: bahwa orang yang paling cerdas adalah orang yang paling banyak mengingat kematian.

Kasim refleks menyahut,

"Aku sudah lama memikirkan kematian dan hasilnya aku merasa jadi orang bodoh sedunia."

Tiga pemuda yang sekarang sudah berada di teras masjid menoleh pada Kasim. Mereka saling berpandangan untuk meyakinkan diri bahwa Kasim sedang menanggapi perbincangan mereka.

"Maaf, Pak, maksudnya bagaimana?" Salah seorang pemuda itu memberanikan diri untuk bertanya.

"Ya itu. Tadi aku dengar ada yang bilang kalau banyak ingat mati itu tanda orang cerdas," jawab Kasim sementara tiga pemuda tadi mulai duduk di dekatnya.

"Oh, itu memang benar Pak, tapi maksudnya adalah yang mempersiapkan kematiannya. Karena dia sadar dia bisa mati kapan saja, dia berusaha mengontrol perbuatannya," jawab salah satu pemuda.

Kasim lalu teringat pada Juhri.

"Aku jadi ingat salah satu temanku yang mati mengenaskan karena kecelakaan. Aku tidak mau mati seperti itu."

"Meninggal dalam keadaan mengenaskan tidak berarti selalu buruk, Pak. Zaman dulu, ketika Rasulullah berperang, banyak dari sahabat beliau meninggal dengan jasad yang penuh luka bahkan ada yang hampir tidak bisa dikenali. Akan tetapi, semua orang tahu mereka meninggal dalam keadaan syahid. Yang akan dipertanggungjawabkan nanti adalah ketika meninggal kita sedang melakukan apa, Pak, tidak jadi soal rupa jasad kita seperti apa."

Kasim tidak membalas perkataan pemuda itu. Para pemuda itu pun pamit pada Kasim dan mulai berjalan meninggalkan masjid. Hanya berselang beberapa langkah, Kasim bertanya pada mereka,

"Bagaimana caranya agar aku tahu kapan aku mati?"

Para pemuda itu kembali saling berpandangan. Kemudian, salah satu dari mereka menjawab dengan kalimat yang tidak asing di telinga Kasim, seolah-olah ia mendapati Juhri gagal mati lagi dan bangkit menjadi orang lain.

"Hanya Allah yang tahu, Pak. Kematian itu dirahasiakan agar kita selalu berusaha berbuat baik setiap saat."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun