Nini Aluh dikabarkan meninggal begitu saja di rumahnya, tanpa ada tanda-tanda luka luar maupun luka dalam. Seorang warga yang biasanya mengantarkan makanan ke rumah Nini Aluh menemukan wanita tua itu telah tak bernyawa dalam posisi duduk bersandar di dinding rumahnya seorang diri.
Sebagian besar menganggap kematian Nini Aluh wajar mengingat usinya, sebagian kecil menduga bahwa Nini Aluh terkena Covid-19 dari para pengunjung yang berdatangan ke rumahnya untuk meminta ramalan kematian.
Lain lagi dengan Kasim. Ia sama sekali tidak memikirkan tentang usia tua Nini Aluh atau virus Covid yang masih ramai itu. Ia bertanya-tanya, apakah dua minggu yang lalu ramalan yang disampaikan Nini Aluh bukan untuk dirinya, melainkan untuk Nini Aluh sendiri?
Seharian dihabiskan Kasim duduk di teras masjid sambil bersandar pada salah satu pilarnya. Kabar kematian Nini Aluh menjadi pemicu banyaknya pikiran yang tiba-tiba menyeruak di kepalanya. Kilas balik saat ia terkena PHK, istrinya meninggal, lalu rasa penasarannya dengan kematiannya sendiri, Juhri yang tewas tergilas truk, hingga kematian Nini Aluh pada hari ketika seharusnya Kasim yang mati.
Kasim tidak pernah berada di masjid sampai sesore itu. Biasanya setelah sholat Ashar ia akan pergi dan kembali lagi ketika adzan Maghrib. Sore itu ia baru tahu bahwa ada sekelompok pemuda mahasiswa yang mengadakan Taman Pendidikan Al Qur'an untuk anak-anak di sekitar sana.
Berbagai kegiatan yang mereka lakukan tidak menarik perhatian Kasim. Akan tetapi, ketika anak-anak sudah selesai mengaji dan sudah berhamburan keluar masjid, Kasim bisa mendengar sedikit percakapan beberapa pemuda berpeci yang sedang berbincang dengan nada santai sambil melangkah keluar dari pintu utama masjid.
Ada satu kalimat yang sangat menarik perhatiannya yang nyambung dengan apa yang sedang dipikirkannya seharian ini: bahwa orang yang paling cerdas adalah orang yang paling banyak mengingat kematian.
Kasim refleks menyahut,
"Aku sudah lama memikirkan kematian dan hasilnya aku merasa jadi orang bodoh sedunia."
Tiga pemuda yang sekarang sudah berada di teras masjid menoleh pada Kasim. Mereka saling berpandangan untuk meyakinkan diri bahwa Kasim sedang menanggapi perbincangan mereka.
"Maaf, Pak, maksudnya bagaimana?" Salah seorang pemuda itu memberanikan diri untuk bertanya.