Kasus anak angkat menekankan pentingnya rekognisi hubungan sosial kekeluargaan.
Kasus beda agama menyoroti bagaimana hukum Islam berupaya tetap adil meski terdapat penghalang syar'i.
Kasus umum (normal) menjadi pembanding situasi tanpa konflik status hukum.
BAB IV ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA SURABAYA TERKAIT WASIAT WAJIBAH
Bab ini merupakan bagian analisis yang mengkaji hasil dari tiga penetapan Pengadilan Agama Surabaya yang sudah dijelaskan di Bab III. Penulis mulai membedah alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim, serta menyoroti bagaimana pendekatan hukum Islam yang normatif dapat bertemu dengan praktik peradilan yang responsif dan kontekstual.
A. Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Penetapan Terkait Wasiat Wajibah
        1. Posisi Pengadilan Agama dan Landasan Yuridis
Penulis menjelaskan bahwa dalam UU No. 7 Tahun 1989 (yang diubah menjadi UU No. 3 Tahun 2006 dan kemudian UU No. 50 Tahun 2009), Pengadilan Agama diberikan kewenangan menyelesaikan sengketa waris berdasarkan hukum Islam. Ini menjadi dasar formal bahwa putusan-putusan yang diambil oleh hakim dalam konteks kewarisan Muslim---termasuk kasus anak angkat dan beda agama---memiliki legitimasi hukum.
Pentingnya ini adalah untuk membuktikan bahwa penetapan wasiat wajibah bukan tindakan sewenang-wenang, melainkan bentuk interpretasi hukum terhadap kekosongan atau kebutuhan hukum tertentu.
2. Analisis Penetapan No. 435/Pdt.P/2010/PA.Sby (Anak Angkat)
Pada kasus ini, hakim memutuskan memberikan bagian waris kepada anak angkat melalui mekanisme wasiat wajibah. Dasar hukum yang digunakan adalah Pasal 209 KHI yang menyatakan bahwa anak angkat berhak menerima bagian maksimal 1/3 dari harta peninggalan orang tua angkatnya.