Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Descendant

15 Desember 2015   18:23 Diperbarui: 17 Desember 2015   01:31 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosok yang dibentak tetap bergeming. Sembilan belas orang bergerak mengepungnya. Sesiur angin menyibak rapatnya dedaunan di kanopi, memberi keleluasaan cahaya sempurna sang purnama menyentuh lantai hutan.

Para hulubalang tak lagi memandang enteng sosok dalam kepungan, seorang yang di kanan sempat melihat ke dalam parit. Ia mengenali sosok yang sepertinya tengah pingsan di sana, Puti Bungo Tanjuang.

Bantuan cahaya rembulan sedikit “menegaskan” rupa sosok di depan. Ketenangan dari tatapan dan mimik wajah, menjelaskan lebih dari satu kata kepada para hulubalang; sosok tua itu seorang sakti.

Meski rambut sebahu telah memutih—diikat deta—begitu juga kumis dan janggut yang riap-riapan diterpa angin, namun wajah dan bentuk tubuhnya tak sedikit pun menampakkan ketuaan. Sorot mata menggidikkan, laksana bara menyala, merah tanpa bintik hitam di sana.

“Urang gaek, jan salahkan kami balancang diri!”  kembali pria itu membentak menanggapi keheningan sosok tua tersebut.

(Translet: “Orang tua, jangan salahkan kami jika lancang diri!”)


Heekh…

Pria yang berujar lantang tiba-tiba terdiam. Sebentuk benda panjang meluncur dari balik punggung sosok tua, melesat dan membelit leher prajurit istana tersebut. Melilit kuat dan kencang, hingga pria itu menjulurkan lidah. Lantas tewas dengan leher patah.

Menyaksikan itu, rekan-rekan si prajurit serempak menghambur. Menyerang sosok tua dalam balutan kain putih tersebut—seperti pakaian ihram orang-orang di Mekah.

Keroyokan datang bertubi. Si orang tua tetap bergeming, selangkah pun kakinya tiada bergerak. Benda panjang menyabet ganas, melilit dan menghentikan tendangan yang terarah ke wajahnya. Prajurit itu menjerit keras, pergelangan kakinya remuk “diremas” benda panjang yang ternyata sangat mirip dengan ekor panjang seekor harimau putih.

Dua tangannya tampak bergerak sedikit saja, namun empat prajurit yang mengeroyok terhempas beberapa meter ke belakang. Sama, keempatnya tewas dengan mulut berbusa bercampur lelehan darah. Sementara pria yang masih menjerit dan dalam keadaan tergantung terbalik, dihempaskan ekor panjang tersebut ke arah sebatang pohon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun