Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Descendant

15 Desember 2015   18:23 Diperbarui: 17 Desember 2015   01:31 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nyaris dua kilometer Puti terus berlari ke arah selatan tanpa jeda. Di Depan—sisi timur—samar-samar ia bisa melihat gonjong Istano Basa di antara celah kerapatan pepohonan. Gurat tipis terukir di sudut bibir, hanya sesaat, sebelum ia melanjutkan larinya ke arah timur.

Sempat terbesit keinginan untuk meminta perlindungan dari orang-orang istana, namun satu suara tak berwujud membisikkan pada Puti untuk terus saja berlari.

“Jangan berharap, Istano Basa pun sudah dikuasai. Teruskan langkahmu hingga ke lereng Gunung Bungsu.”

Puti tidak tahu, dan tidak mengenal sedikit pun suara itu sebelumnya. Yang ia tahu, sedari tadi, suara itu membimbingnya meninggalkan Istano Silinduang Bulan.

Sesaat, Puti berhenti. Mengatur napas yang memburu. Lima meter di depan adalah jalan besar beraspal—sisi kanan gerbang masuk ke lingkungan Istano Basa. Meski dada bergemuruh, namun sepasang mata liar mengawasi.

Di depan gerbang Puti melihat empat pengawal berdiri di sana. Sebuah mobil box meluncur pelan dari ujung kiri jalan, berhenti tepat di hadapan dua penjaga gerbang di sisi yang sama. Entah apa yang mereka bicarakan, Puti tak bisa menangkap dengan jelas suara-suara mereka itu. Dua pengawal di kaki gerbang sisi kanan menghampiri mobil, setelah seorang rekan mereka di sisi kiri memanggil keduanya.


“Larilah…”

Kembali suara gaib itu bergema di telinga Puti. Perhatian para penjaga teralihkan, gadis belia melangkah keluar dari persembunyian. Melangkah santai agar nanti para penjaga mengira ia adalah penduduk setempat, orang biasa.

Degupan jantung kian menyesak, sepasang telinga menangkap pergerakan di belakang sana, meski sayup-sayup sampai. Dua langkah lagi, Puti akan meninggalkan jalanan beraspal, dan para penjaga itu—juga beberapa orang dari mobil box—tidak menyadari si gadis kecil berlalu menyeberangi jalan.

Terlindung bayang-bayang pohon dan rimbunnya tanaman, gadis belia kembali memacu larinya menuju tebing Gunung Bungsu yang berada beberapa ratus meter di belakang Istano Basa.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun