"Lari, Mel!"
Kami berlari, berhasil keluar dari rumah, tanpa melihat ke belakang menerobos kegelapan. Dengan cahaya lampu yang sudah hampir rusak. Nafas sudah tak beraturan. Ada sebuah mobil pickup terparkir dengan kunci yang masih menggantung. Tanpa pikir panjang, aku melompat ke kursi pengemudi, Imel ke kursi penumpang.
Mobil melaju kencang, menabrak beberapa zombie yang menghalangi jalan. Beberapa yang lain terus mengejar ke arah kami. Darah hitam menciprat ke kaca depan dan samping. Imel memekik berteriak, aku tetap mencoba fokus pada jalan berliku di depan kami.
Barisan mayat hidup yang berkerumun memblokir jalan utama. Bukan hanya puluhan, mungkin ratusan. Mustahil untuk diterobos.
"Mel, pegang yang erat!" kusuruh Mel untuk memperkencang sabuk pengaman.
Aku memutar setir tajam, belok menukik untuk membawa kami masuk ke jalan kecil di antara gedung-gedung tinggi. Di ujung jalan, sebuah pagar kawat menghalangi. Tidak ada waktu untuk berhenti---aku menginjak gas lebih dalam.
BRAKKK! Mobil menjebol kawat pagar, membawa kami ke arah pelabuhan. Kami berhenti dengan decitan keras, napas terengah-engah.
Suara radio yang berbunyi. "Rain, dengar!" Imel menunjuk ke arah radio mobil yang menyala sendiri karena benturan keras tadi.
Kemudian jelas terdengar: "...Zona aman di Pulau Robben. Evakuasi terakhir pukul 06.00. Ulangi, evakuasi terakhir pukul 06.00..."
Kutengok jam di dashboard: 05.19. Waktu kami tidak begitu banyak.
Pelabuhan tampak seperti medan perang. Beberapa kapal terbakar, mayat bergelimpangan---hidup dan benar-benar mati. Di kejauhan, sebuah helikopter lepas landas membawa beberapa orang beruntung. Kami turun dari mobil dan terus berlari.