Syekh Abdurrahman Silau Laut: Menyemai Islam Nusantara melalui Tarekat Syattariyah
Oleh : Dr. M. IQBAL Daulay, MA
KETUA PW NW SUMUT
Di pesisir Asahan, Sumatera Utara, nama Syekh Abdurrahman Silau Laut (1858--1937) bukan sekadar legenda. Ia adalah ulama visioner yang mendirikan Desa Silau Laut dan menenun harmoni antara ajaran Islam dan budaya lokal melalui Tarekat Syattariyah.
Dengan jaringan keilmuan yang membentang dari Nusantara hingga Mekkah, ia mengintegrasikan nilai-nilai tasawuf, fiqh, dan tradisi lokal seperti Bondang dan Jamu Laut, menciptakan warisan spiritual yang masih hidup hingga kini, termasuk pengaruhnya sebagai kakek Ustaz Abdul Somad.
Perjalanan Intelektual yang Luas
Syekh Abdurrahman, yang lahir dengan nama Syekh Abdurrahman Urrahim bin Nakhoda Alang Batubara, memulai pendidikan agamanya sejak kecil di Kampung Lalang, Batubara.
Pada usia 8 tahun, ia belajar mengaji, dan di usia 15 tahun sudah menjalani khalwat untuk memperdalam zikir. Di usia 17, ia merantau ke Minangkabau, berguru pada Syekh Jambek, ulama besar Bukittinggi, yang mengajarkannya fiqh Syafi'i, tauhid, dan tasawuf.
Perjalanan intelektualnya berlanjut ke Aceh, pusat tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah, yang memperkaya pemahamannya tentang tasawuf. Di Pattani, Thailand Selatan, ia belajar dari Syekh Wan Mustafa dan Syekh Daud Fathani, dua ulama kunci yang menghubungkan tradisi Melayu dengan Haramain. Di sini, Tarekat Syattariyah menjadi inti keilmuannya.
Puncak pendidikannya adalah di Mekkah, tempat ia berguru pada ulama-ulama ternama seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau (fiqh Syafi'i), Syekh Daud Fathani (tarekat), Syekh Sulaiman Zuhdi (Naqsyabandiyah-Khalidiyah), dan Syekh Muhammad bin Alawi Al-Maliki (hadis dan tasawuf). Jaringan ini menempatkannya dalam lingkaran ulama Nusantara-Haramain, yang memungkinkan transmisi ilmu dari Timur Tengah ke Asia Tenggara.