Mohon tunggu...
Yohanes Patrio
Yohanes Patrio Mohon Tunggu... Karyawan Biasa

Pria Juga Boleh Bercerita. Peminat Filsafat, Sastra dan Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jejak Tuhan Pada Wajah Gadis Misterius di Seberang Jalan

25 September 2025   19:09 Diperbarui: 25 September 2025   20:57 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image source:https://www.pexels.com/id-id/foto/wanita-memegang-bulan-3622517/

Waktu menunjukan pukul 22.00. Dan sebagaimana biasanya, hiruk pikuk kota Surabaya malam itu perlahan berubah menjadi sepi. Riuh tawa, langkah kaki dan bising suara kendaraan yang kerap menjadi sumber keramaian kota, kini berubah menjadi senyap bak panggung kosong sehabis menampilkan sebuah pertunjukan. Penerangan jalan yang tadinya terang benderang bercampur sinar lampu kendaraan, kini menyisakan cahaya redup hampir temaram. Angin malam pun mulai berbisik malu dan menyusup di sela - sela setiap gedung. Bersiap menyapa dan menegur siapa saja yang tidak segera kembali ke peraduannya.

Dan tepat di tengah senyap yang menggantung itu aku seolah membangkang terhadap aturan alam yang demikian. Langkah kaki hendak membawa tubuh ini ke sebuah warung madura. Alasannya tidak lain karena kami kehabisan air minum. Dan kehabisan kali ini, akulah yang bertanggung jawab untuk mengisinya kembali, sebab kedua teman kos sudah menunaikan kewajiban mereka pada kehabisan air sebelumnya.

Dengan langkah gontai karena lelah seharian bekerja, aku bergegas menuju warung tempat biasa aku membeli air isi ulang. Uang ditangan kiri sementra tangan kanan menenteng satu buah galon kosong.

Sering kali ketika aku memegang galon atau benda dengan berat, bentuk atau bobot yang hampir sama atau menyerupai satu sama lain, imajinasi membawa diriku keluar dari dunia nyata menuju ruang imajinasi.

Dan kali ini aku membayangkan dengan galon itu, aku siap menghantam siapa saja di depanku. Kebetulan sosok Bima dalam dalam epos Mahabarata entah kenapa sekarang menyelinap begitu saja ke dalam pikiranku dan galon kosong ditangan kananku adalah palu gadanya. Sambil melompat aku berteriak : “ Hiachhh dihachhhh!!”. Memukul angin! Mungkin ketika ada yang melihatku bertingkah demikian pada hampir tengah malam seperti itu, semua mengira aku gila.

Persis ketika aku kembali ke kesadaranku, nampak olehku di sudut seberang jalan, seorang gadis menutup gerbang rumahnya secara perlahan. Matanya melihat ke kiri dan kanan dengan sikap penuh waspada. Lalu ia melangkahkan kakinya dengan sangat hati - hati. Penglihatannya penuh dengan sikap waspada yang tampak seperti seorang yang sedang berjaga - jaga kalau - kalau ada yang tiba - tiba mengganggunya.

Kecurigaan awalku adalah bahwa itu pastilah gadis yang biasa aku lihat selama ini. Tubuhnya gendut, berambut sebahu dan pipinya gembul. Meski selama ini aku hanya memperhatikannya dari kejauhan, tapi masih bisa dengan jelas aku menggambarkannya demikian. Kedua kakinya kecil mulai dari ujung jari sampai beberapa senti di bawah betis. Baru mulai betis ke atas semuanya besar dan terisi penuh lemak. Antara kepala dan badan tidak dipisahkan oleh ukuran leher yang ideal. Baju yang sering dikenakannya adalah daster. Dan kali ini ia mengenakan daster abu - abu bermotif bunga dan bintang - bintang kecil. Ukurannya barangkali adalah XXL dengan rincian yang sesuai dengan ukuran tubuhnya.

Ya kalau urusan menggambarkan, menilai bahkan menghakimi orang, aku memang tak bisa diragukan. Ini contohnya. Bahkan hanya dengan melihat dan mendengar dari kejauhan, aku sudah bisa memberinya label apapun yang aku suka. Hanya terkadang ketika aku yang diperlakukan begitu oleh orang lain, dengan pongah aku bertanya : Apa gunanya akal jika menilai hanya dari yang dilihat dan didengar? Ah, betapa egois diri ini!!

Tapi yang membuatku tercenung adalah keanehan yang melekat pada sosoknya. Tak pernah ia menampakkan diri pada hari - hari biasa seolah hanya memilih pagi yang malas atau siang yang lengang di hari libur. Lantas itu lalu membuatnya tampak seperti bayang - bayang yang hanya bersahabat dengan cahaya. Tapi malam ini, mungkin untuk kali pertama ia hadir di sela - sela gelap yang menggigil, pada jam yang nyaris menyentuh tengah malam, tatkala dunia menutup matanya dan mimpi belum juga sepenuhnya terjaga.  

Padahal sebenarnya, antara rumahnya dengan tempat aku tinggal tidak lebih dari 200 meter. Keanehan itu diperkuat oleh kenyataan bahwa Omah pemilik warung kelontong yang lokasinya tepat berada dihadapan rumah gadis itu, aku melihatnya hampir setiap hari.

Tapi mungkin, memang akulah yang tak cukup peka. Mungkin gadis itu berjalan di antara waktu yang tak kusadari, menyelinap di sela-sela detik yang tak sempat kupeluk dengan mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun