Beberapa waktu lalu, berita tentang Hakim Djuyamto menjadi viral dan menghebohkan publik. Dalam sebuah persidangan, ia mengeluarkan pernyataan yang menuai kontroversi, dianggap tidak etis dan merendahkan. Ironisnya seorang hakim yang seharusnya menjadi pilar keadilan dan integritas, justru menjadi sorotan karena perilakunya yang dipertanyakan. Kasus ini memicu pertanyaan yang lebih dalam, bukan hanya soal etika profesi, tetapi juga tentang kegagalan fundamental dalam pendidikan. Mengapa seseorang yang telah melalui jenjang pendidikan tinggi yang seharusnya digembleng dengan nilai-nilai moral dan etika masih bisa menunjukkan perilaku seperti itu? Apakah pendidikan kita hanya berhasil mencetak individu yang cerdas secara kognitif, menguasai pasal-pasal hukum, tetapi kosong dalam hal moralitas dan integritas?
Di sinilah filsafat pendidikan memasuki panggung. Filsafat pendidikan tidak berbicara tentang kurikulum atau metode pengajaran, tetapi tentang tujuan utama kita mendidik. Ia memaksa kita untuk merenung: apakah pendidikan kita telah gagal dalam tugasnya membentuk karakter dan moral? Melalui tulisan ini, kita akan menyelami mengapa filsafat pendidikan begitu penting dalam menjawab keresahan tersebut.Â
1. Menggali Akar Pendidikan: Analisis Tujuan Filsafat Pendidikan
Pendidikan seringkali dipandang sebagai proses teknis yaitu transfer informasi, kurikulum, dan evaluasi. Namun, di balik semua teknisitas itu ada pertanyaan fundamental yang jarang diajukan yaitu "Mengapa kita mendidik?" Pertanyaan ini adalah ranah utama dari filsafat pendidikan. Sebuah studi kritis yang bertugas merumuskan tujuan paling dasar dari seluruh sistem pembelajaran. Artikel ini akan mengupas filsafat pendidikan sebagai studi teoretis dan praktis. Kita akan membedah tiga tujuan utamanya yang saling berkaitan: inspirasional, preskriptif, dan investigatif.
Sebagai studi teoretis, filsafat pendidikan bekerja di ranah gagasan. Ia adalah fondasi pemikiran yang membentuk seluruh bangunan pendidikan. Â Tetapi teori tanpa praktik adalah sia-sia. Filsafat pendidikan bukanlah ilmu yang hanya ada di buku-buku tebal, tetapi juga hidup di setiap ruang kelas, setiap kebijakan, dan setiap interaksi antara guru dan siswa. Oleh karena itu ada tiga tujuan utama yang melandasi filsafat pendidikan sebagai berikut.
1. Tujuan InspirasionalÂ
Tujuan pertama Filsafat Pendidikan adalah Inspirasional, tujuan ini merumuskan cita-cita luhur dan visi ideal tentang manusia yang ingin dicetak oleh bangsa. Visi pendidikan nasional kita yang termuat dalam undang-undang, jelas mencetak insan yang beriman, berakhlak mulia, cerdas, dan bertanggung jawab. Dalam konteks profesi hukum, hal ini berarti mencetak hakim filosofis yang menjunjung tinggi keadilan substantif (iustitia) dan martabat kemanusiaan. Saat ini pendidikan kita terbukti berhasil di aspek Ontologi dan Epistemologi, hal ini dapat kita lihat pada Hakim Djuyamto yang menguasai seluk-beluk hukum (Ontologi) dan tahu cara memperoleh kebenaran hukum melalui prosedur peradilan (Epistemologi). Namun, sistem kita gagal total di aspek Aksiologi (nilai dan moral).Â
Dari kasus ini membuktikan bahwa institusi pendidikan telah menjadikan visi moral sebagai tempelan kurikulum, alih-alih menjadikannya pondasi filosofis yang mengikat setiap aspek pembelajaran. Nilai-nilai seperti integritas, empati, dan keadilan hanya diajarkan sebagai materi ujian bukan sebagai etos profesi yang dihidupi. Jika seorang hakim mengeluarkan pernyataan yang merendahkan atau menunjukkan arogansi, atau bahkan menerima suap, itu adalah indikasi bahwa pendidikan telah gagal menanamkan penghargaan terhadap martabat kemanusiaan dan nilai sentral dalam setiap filsafat hukum progresif. Visi pendidikan yang seharusnya memanusiakan (humanisme) tergerus oleh pendidikan yang hanya mengutamakan gelar dan kekuasaan. Visi inspirasional itu luruh, menjadi retorika kosong di pidato wisuda, tanpa tertanam menjadi karakter yang teguh di kursi pengadilan. Kita mencetak pahlawan teori, tetapi menghasilkan penjahat praktik. Inilah tragedi ketika visi luhur dikalahkan oleh praktik pragmatis.
2. Tujuan PreskriptifÂ
Tujuan kedua, Preskriptif seharusnya berfungsi sebagai peta jalan yang tegas untuk mewujudkan visi inspirasional tersebut. Ia mengatur bagaimana kurikulum, metode pengajaran, dan lingkungan belajar harus dirancang secara ideal. Mata kuliah Etika Profesi dan Filsafat Hukum adalah wujud dari Tujuan Preskriptif. Namun, implementasinya seringkali formalistik dan kering. Filsafat Pendidikan tampaknya hanya menyentuh permukaan, mengajarkan pengetahuan tentang etika, bukan penerapan etika. Jika moralitas dan etika diajarkan melalui ceramah satu arah dan hafalan kode etik, mahasiswa hanya akan mencerna informasi secara kognitif. Mereka tahu batas antara baik dan buruk, tetapi mereka tidak pernah dilatih untuk merasakan konsekuensi moral dari pelanggaran tersebut. Moralitas kognitif ini rentan hancur di hadapan tekanan nyata dunia kerja.
Pendidikan preskriptif yang ideal harus berfungsi sebagai vaksinasi moral. Ini dicapai melalui simulasi kasus dilematis nyata yang memaksa mahasiswa mengambil keputusan moral berisiko tinggi (misalnya, simulasi di mana integritas dipertaruhkan demi keuntungan finansial atau karier). Tanpa pelatihan ini, moralitas tidak akan menjadi daya tahan mental yang kuat, membuat individu rentan terhadap godaan suap dan penyalahgunaan kekuasaan. Di banyak lembaga, nilai kumulatif mata kuliah hukum substantif jauh lebih diutamakan daripada nilai mata kuliah etika. Ini secara preskriptif mengirimkan pesan bahwa kecerdasan teknis lebih penting daripada integritas karakter. Inilah akar kebobrokan: sistem memprioritaskan "apa yang Anda tahu" daripada "siapa Anda".
Kegagalan preskriptif tidak hanya pada metode, tetapi juga pada lingkungan. Filsafat Pendidikan menegaskan bahwa lingkungan belajar harus selaras dengan nilai yang diajarkan. Jika institusi pendidikan itu sendiri tidak bebas dari praktik transaksional (misalnya, praktik nepotisme, plagiarisme yang ditoleransi, atau proses rekrutmen dosen yang tidak transparan), maka ia mengirimkan pesan implisit yang mematikan: moralitas adalah teori, tetapi pragmatisme adalah praktik. Lingkungan yang hipokrit ini mengajarkan "cara hidup yang sesungguhnya" di Indonesia, di mana idealisme bisa dikesampingkan demi keuntungan praktis dan kekuasaan.Para pendidik dan senior yang seharusnya menjadi model integritas (sebuah elemen preskriptif kunci) justru gagal. Mahasiswa melihat bahwa kekuasaan dan kekayaan didapatkan melalui jalan pintas yang tidak etis. Proses ini menciptakan mentalitas legalistik yang sempit dan fokus pada bagaimana menghindari hukuman, bukan pada bagaimana menegakkan keadilan sejati.
3. Tujuan InvestigasiÂ
Tujuan ketiga yaitu Investigatif, menuntut sistem pendidikan untuk terus-menerus mengkritik, menganalisis, dan mereformasi dirinya sendiri berdasarkan kinerja lulusannya di dunia nyata. Ini adalah proses refleksi kritis yang fundamental. Kasus hakim korup atau arogan harusnya memicu investigasi filosofis yang mendalam di seluruh lembaga pendidikan tinggi. Namun, seringkali kritik hanya berhenti di tingkat teknis (misalnya, merevisi kode etik), tanpa menyentuh akar masalah filosofis dan pedagogis. Institusi pendidikan cenderung defensif terhadap kritik yang menargetkan alumni atau kurikulum mereka. Mereka menganggap kegagalan moral sebagai "kasus oknum" tanpa melihatnya sebagai kegagalan struktural yang harus disikapi dengan reformasi kurikuler.
Pendidikan hanya mengukur output (kelulusan dan IPK), bukan outcome (dampak integritas di masyarakat). Kita tidak memiliki mekanisme investigatif yang jujur untuk menilai "IPK Moral" atau "Indeks Integritas" seseorang setelah 5 atau 10 tahun lulus. Ini berarti kita tidak pernah tahu seberapa efektif pengajaran etika kita. Fungsi investigatif terputus, alumni berbuat salah, tetapi kritik tidak kembali ke kampus untuk memperbaiki kurikulum. Pendidikan terus memproduksi lulusan dengan cetakan yang sama, mengabaikan sinyal bahaya yang dikirim oleh masyarakat. Institusi pendidikan harus bertanggung jawab atas integritas alumninya. Setiap skandal besar harus dianalisis oleh tim filosof dan pedagog untuk mengidentifikasi kelemahan dalam proses pendidikan yang dilalui alumni tersebut. Kasus-kasus pelanggaran etika dan korupsi yang viral harus menjadi bahan ajar utama yang wajib dianalisis secara kritis di kelas, menuntut mahasiswa merumuskan solusi filosofis dan preskriptif. Fungsi investigatif harus dimulai dari awal. Proses seleksi masuk (Penerimaan Mahasiswa Baru) tidak boleh hanya berdasarkan nilai akademik, tetapi harus melibatkan tes psikologis dan wawancara mendalam untuk menguji kematangan emosional dan integritas moral calon penegak hukum. Jika benihnya sudah rapuh, kurikulum terbaik pun akan gagal.Â
Tragedi Djuyamto menunjukkan bahwa pendidikan kita telah mengidap penyakit "Anomali Aksiologis"ia tahu nilai (aksiologi), tetapi tidak menghidupinya. Hal ini menghasilkan profesional yang cerdas tetapi tidak bermoral, yang pada dasarnya adalah bom waktu dalam sistem keadilan. Untuk keluar dari jebakan ini, Filsafat Pendidikan harus didorong ke garis depan dengan tiga langkah radikal:
Transformasi Inspirasi: Jadikan integritas sebagai DNA institusi, bukan hanya tempelan di visi-misi.
Koreksi Preskripsi: Terapkan metode pengajaran yang melatih dan menguji nurani (bukan hanya memori) mahasiswa di bawah tekanan.
Kuatkan Investigasi: Bangun mekanisme umpan balik yang jujur dari masyarakat untuk terus mereformasi sistem.