Dalam dunia yang bising dan penuh ambisi, ada jiwa-jiwa yang memilih jalan sunyi: mencari Tuhan. Mereka adalah pemburu Tuhan, bukan karena ingin dihormati, tapi karena hatinya haus akan hadirat-Nya.
Namun, apa jadinya ketika pemburu Tuhan justru berada di titik paling rendah dalam hidupnya? Ketika doa terasa kosong dan suara Tuhan seakan menghilang?
Ia duduk diam, menatap dinding dengan mata sayu. Doa-doanya hanya bisikan lirih, dan pujian yang dulu megah kini jadi gumaman lemah.
"Tuhan, di mana Engkau?" bisiknya dalam kesendirian yang membekukan. Ini bukan sekadar kesepian, ini kehausan yang menusuk jiwa.
Titik rendah memang tidak pandang siapa pun, termasuk mereka yang mencintai Tuhan sepenuh hati. Bahkan orang yang paling rohani pun bisa merasa kehilangan arah.
Namun justru di titik inilah Tuhan sering hadir paling nyata. Dalam remuk hati, kehadiran-Nya terasa lebih dalam dari kata-kata.
Mazmur berkata, Tuhan dekat dengan orang yang patah hati. Ini bukan sekadar teori, melainkan janji yang hidup dalam realitas orang yang terluka.
Bahagia sejati bukan soal kondisi yang baik, tapi kehadiran Tuhan di dalam badai. Seorang pemburu Tuhan tahu: Tuhan adalah alasan untuk tetap tersenyum, bahkan dalam tangis.
Sikap hati menjadi pusat kekuatan dalam titik lemah. Saat dunia menyuruh untuk menyerah, hati yang berserah justru menemukan damai.
Menjaga hati tetap lembut di tengah guncangan adalah tindakan iman. Sebab Tuhan tidak bertahta di atas keraguan, melainkan di hati yang percaya.