Mohon tunggu...
Amoli ndraha
Amoli ndraha Mohon Tunggu... wiraswasta

Lakukan sebisamu, jangan lemah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Zonasi: Harapan vs Kenyataan

24 Juli 2025   15:01 Diperbarui: 25 Juli 2025   08:19 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Boy School Pramuka (Pixabay/Masbebet)

Kebijakan pemerintah tentang zonasi sekolah, atau kini dikenal sebagai jalur domisili dalam SPMB 2025, awalnya dihadirkan untuk memeratakan akses pendidikan bagi semua anak Indonesia. 

Di atas kertas, masyarakat tentu mendukung pemerataan pendidikan agar setiap anak, tanpa memandang latar belakang ekonomi dan status sosial, memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dekat rumah. Banyak orang tua setuju bahwa anak tidak perlu lelah berangkat jauh ke sekolah hanya karena mengejar nama besar sekolah tertentu.

Namun, di mata masyarakat, zonasi belum sepenuhnya menjawab ketimpangan pendidikan yang selama ini terjadi. Banyak orang tua masih merasa cemas setiap kali musim penerimaan siswa baru tiba karena takut anak mereka tidak diterima di sekolah negeri terdekat akibat kuota penuh. 

Sebagian masyarakat juga merasa kesulitan karena kualitas sekolah belum merata. Masih banyak sekolah yang kekurangan guru berkualitas, fasilitas pendukung, serta lingkungan belajar yang kondusif. Akibatnya, orang tua tetap berusaha "mengejar sekolah terbaik" meskipun terhalang zonasi.

Di satu sisi, masyarakat juga melihat zonasi sebagai harapan untuk pemerataan pendidikan, mendorong sekolah di setiap wilayah meningkatkan kualitasnya karena semua anak di sekitar akan bersekolah di sana.

 Di daerah yang memiliki sekolah berkualitas baik, masyarakat sangat terbantu karena dapat menghemat biaya transportasi dan memiliki waktu berkualitas dengan anak. Tetapi di sisi lain, masyarakat masih berharap pemerintah lebih serius membenahi kualitas pendidikan secara merata sebelum menerapkan kebijakan ini dengan ketat.

Keresahan lain yang muncul adalah masih adanya kurangnya sosialisasi dan transparansi dalam proses penerimaan. Banyak masyarakat yang merasa tidak memahami prosedur pendaftaran, pengukuran jarak, dan mekanisme pemeringkatan nilai dalam jalur prestasi.

 Serta pandangan masyarakat yang menganggap bahwa beberapa sekolah menjadi sekolah ungulan dan yang lain tidak. Hal ini membuat masyarakat merasa tidak memiliki kontrol terhadap pendidikan anak mereka, sementara proses pendidikan adalah bagian penting dari masa depan keluarga dan negara.

Di tengah semua dinamika ini, masyarakat sebenarnya tidak menolak kebijakan zonasi. Masyarakat hanya ingin pemerintah memperhatikan kualitas pendidikan secara merata, memperbanyak sekolah negeri dengan fasilitas baik, dan mendistribusikan guru-guru berkualitas ke seluruh daerah, bukan hanya terpusat di kota besar. 

Masyarakat ingin sistem zonasi menjadi bagian dari upaya serius memajukan pendidikan, bukan sekadar kebijakan administratif tahunan yang penuh drama saat musim penerimaan siswa baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun