Mohon tunggu...
Zaly
Zaly Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seseorang yang gemar menulis cerpen dan karya lainnya. bisa kunjungi akun instagram untuk lebih lanjut !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Melodi Hujan di Lorong Waktu

4 September 2025   07:11 Diperbarui: 4 September 2025   07:11 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jari-jari keriput Pak Budi menari di udara, seolah masih merasakan tuts-tuts piano yang sudah lama tidak ia sentuh. Papan-papan tua itu kini menjadi pajangan bisu di sudut rumahnya, diselimuti debu dan nostalgia. Sejak kepergian Wina, istrinya, lebih dari dua puluh tahun yang lalu, melodi telah mati dari hidupnya.

Suatu sore, saat hujan turun dengan deras, Pak Budi menemukan sebuah toko barang antik kecil di gang sempit. Di sudut ruangan, sebuah piano tua yang usang menarik perhatiannya. Tuts-tutsnya menguning, permukaannya terkelupas, tapi ada sesuatu yang memanggilnya. Ia teringat akan janji Wina, "Suatu hari, kita akan punya piano kita sendiri, Budi. Dan kamu akan memainkan melodi yang paling indah untukku."

Tanpa pikir panjang, Pak Budi membeli piano itu. Ia membersihkannya dengan teliti di rumah, mengelap setiap tuts seolah menyentuh kenangan. Ketika jari-jarinya menyentuh tuts pertama, sebuah melodi lembut mengalun, bukan dari piano, melainkan dari memorinya. Tiba-tiba, ia tidak lagi berada di ruang tamu, melainkan di sebuah kafe kecil di tahun 1970-an. Hujan turun dengan irama yang sama, dan di hadapannya, Wina tersenyum.

"Kamu datang," kata Wina, suaranya selembut melodi.

Pak Budi tertegun. "Wina... ini..."

"Aku tahu," jawab Wina, matanya berkaca-kaca. "Ini adalah kenangan yang kamu simpan, melodi yang tak pernah kamu lupakan."

Mereka berbicara, tertawa, dan mengenang masa-masa indah. Wina bercerita tentang kebahagiaan mereka, tentang janji-janji yang mereka buat, dan tentang cinta yang tak pernah pudar.

"Kenapa kamu datang?" tanya Pak Budi, suaranya bergetar.

Baca juga: Kode Keberanian

"Aku selalu di sini, Budi," jawab Wina sambil menyentuh dadanya. "Di setiap melodi yang kamu mainkan, di setiap kenangan yang kamu simpan. Aku datang untuk mengingatkanmu, bahwa melodi itu masih hidup. Jangan biarkan ia mati."

Saat Pak Budi memainkan sebuah lagu, melodi yang dulunya adalah melodi kegembiraan, kini menjadi melodi yang melarutkan air mata. "Ini lagu yang kamu suka," bisik Pak Budi.

Wina mengangguk, "Ya. Dan sekarang, mainkan untukku."

Pak Budi memainkan lagu itu dengan segenap hati. Setiap nada yang ia mainkan adalah dialog bisu antara mereka berdua, sebuah ungkapan rindu yang tidak bisa diucapkan. Tiba-tiba, melodi itu berakhir. Pandangannya kembali buram, dan ia kembali ke ruang tamunya yang sepi.

Hujan di luar telah reda, menyisakan kelembapan dan kesunyian. Pak Budi menatap piano tua di depannya. Ada selembar kertas lusuh di atas tutsnya. Itu adalah lirik lagu yang baru saja ia mainkan. Di bawah lirik itu, tulisan tangan Wina tertera, "Mainkan untuk kita, Budi. Melodi ini takkan pernah usang."

Air mata Pak Budi menetes, membasahi lirik itu. Ia memeluk piano itu, merasakan kehangatan yang tak lagi bisa ia rasakan dari Wina. Melodi mungkin telah mati untuk sementara, tapi kenangan dan cinta mereka akan tetap hidup, mengalun lembut di lorong waktu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun