Hujan turun deras di luar jendela kedai kopi "Senja", membuat suasana menjadi semakin hangat dan nyaman. Aku sedang membaca buku sambil sesekali menyeruput Americano-ku yang sudah hampir dingin. Di meja seberang, seorang gadis dengan sweater tebal terlihat sedang menulis sesuatu di buku catatannya. Sesekali ia menghela napas, terlihat frustasi.
Akhirnya, dia mengacak-acak rambutnya, menutup buku catatan itu dengan keras.
Aku tersenyum kecil. "Sepertinya kamu sedang ada masalah dengan tulisanmu," kataku, memecah keheningan.
Gadis itu terkejut. "Oh, maaf kalau suaraku terlalu keras. Iya, buntu ide."
"Aku paham. Terkadang, ide itu datang saat kita tidak mencarinya," ujarku sambil menunjuk buku di tanganku. "Aku malah sering dapat ide dari hal-hal yang tidak terduga."
Dia tersenyum tipis. "Boleh aku tahu namamu? Aku Naya."
"Aku Rian," jawabku. "Kamu menulis apa?"
"Sebuah novel. Tentang sebuah rahasia keluarga yang tersembunyi di masa lalu," katanya, matanya memancarkan kegelisahan. "Tapi aku tidak tahu harus memulai dari mana. Rasanya, terlalu berat."
Aku mengamati ekspresi Naya, ada sesuatu yang lebih dari sekadar kesulitan menulis. "Ini cerita fiksi, kan? Kenapa terlihat begitu personal?" tanyaku hati-hati.
Naya terdiam sejenak. "Sebenarnya... ini bukan fiksi sepenuhnya. Ini kisah nenekku. Beliau... baru saja meninggal. Dan sebelum itu, ia berpesan untuk mencari sebuah kotak kecil di bawah pohon mangga di halaman rumahnya. Tapi kami tidak pernah menemukannya."
Hatiku tergerak. "Jadi, kamu mencoba menulis untuk memahami kisah itu?"
Naya mengangguk. "Aku ingin melanjutkan kisah nenekku, dan mungkin dengan begitu, aku bisa menemukan petunjuk tentang kotak itu."
Aku mengambil tisu di atas meja dan menulis sesuatu di sana, lalu memberikannya pada Naya. "Mungkin ini bisa membantu."
Naya membaca tulisan di tisu itu. Matanya membulat. "Ini... lirik lagu masa lalu. Dari era 50-an."
"Betul. Lagu ini tentang sepasang kekasih yang harus berpisah karena perang, tapi mereka berjanji akan bertemu lagi di tempat yang sama saat bunga-bunga bermekaran," jelasku. "Nenekku sering menyanyikannya."
Naya menatapku dengan bingung. "Bagaimana kamu tahu? Kamu kenal nenekku?"
Aku mengangguk, tersenyum pahit. "Kakekku adalah kekasih nenekmu. Beliau... juga seorang tentara. Dia berlayar, tapi tidak pernah kembali."
Naya terdiam, tatapannya kosong. Secangkir kopi, sebuah kedai yang tenang, dan hujan yang menjadi saksi. Sebuah rahasia lama akhirnya terungkap, menghubungkan kami berdua melalui masa lalu yang menyakitkan.
"Jadi... kotak itu..." kata Naya, suaranya tercekat.
"Mungkin ada petunjuk tentang pertemuan mereka yang tidak pernah terjadi," bisikku, merasakan kesedihan yang sama. "Aku rasa kita harus mencarinya bersama."
Naya mengangguk perlahan. Di luar, hujan mulai reda, dan kami berdua tahu, perjumpaan ini bukanlah kebetulan. Ini adalah takdir yang harus kami hadapi, untuk mengungkap misteri yang telah lama terkubur.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI