Fajar menatap pantulan dirinya di genangan air hujan. Seragam sekolahnya sudah lusuh, sepatu bolong di sana-sini. Ia mengusap tetesan air yang membasahi pipinya. Hari itu, ia kembali tidak bisa membayar uang buku.
"Jaga saja buku-bukunya, Fajar. Tapi Bapak tidak bisa meminjamkannya padamu," ujar Pak Rahmat, guru perpustakaan, dengan nada kasihan.
Fajar mengangguk lesu. Di sekolah, ia dikenal sebagai murid terpintar. Nilainya selalu sempurna. Namun, kecerdasannya tidak bisa mengalahkan kemiskinannya. Ia tidak memiliki uang untuk membeli buku atau alat tulis yang memadai.
Saat berjalan pulang, matanya menangkap seberkas cahaya keemasan di antara tumpukan sampah. Fajar mendekat dan mengambilnya. Itu adalah sebuah pena, terukir indah dengan motif daun. Ujungnya bersinar keemasan. Ia merasa ada sesuatu yang istimewa dari pena itu. Tanpa pikir panjang, ia memasukkannya ke dalam saku.
Malam itu, Fajar mencoba pena tersebut untuk mengerjakan tugas matematika. Begitu ujung pena menyentuh kertas, semua rumus yang tadinya rumit mendadak menjadi sangat jelas. Angka-angka seolah menari dan membentuk solusi dengan sendirinya. Ia menyelesaikan soal-soal itu dalam waktu singkat.
"Wah, hebat sekali pena ini!" bisiknya, takjub.
Keesokan harinya, Fajar menggunakan pena itu untuk ulangan IPA. Semua jawabannya keluar begitu saja. Ia tidak perlu berpikir keras, karena semua teori dan nama-nama ilmiah seolah sudah tertanam di kepalanya. Hasil ulangannya kembali sempurna.
Teman-teman mulai curiga. "Bagaimana bisa kau selalu dapat nilai sempurna, Fajar?" tanya Gilang, ketua kelas. "Padahal kau tidak pernah membeli buku baru."
Fajar hanya tersenyum dan menggeleng. Ia tidak ingin menceritakan soal pena emas itu. Ia takut pena itu akan diambil darinya, dan ia akan kembali kehidupannya yang sulit.
Suatu sore, Pak Rahmat memanggil Fajar. "Nak, Bapak melihat perkembanganmu. Nilaimu melonjak drastis. Ada apa?"