Semburan debu mengepul di belakang mobil sewaan, seolah enggan mengantar kami lebih dalam ke pelosok Desa Sukamaju. Di dalam mobil, lima pasang mata saling bertukar pandang cemas. Ini hari pertama KKN kami. Aku, Raka, bersama empat teman lainnya: Budi si optimis yang tak pernah lelah, Sita si perfeksionis yang selalu mencatat, Dina si pendiam yang sensitif, dan Gilang si humoris yang suka mencairkan suasana.
"Ini beneran KKN, ya? Bukan syuting film petualangan?" canda Gilang, yang dibalas tawa hambar.
Desa Sukamaju tidak seperti bayangan kami. Tidak ada sinyal, listrik pun sering padam. Air bersih hanya bisa didapat dari sumur umum yang letaknya cukup jauh. Proyek utama kami adalah membangun perpustakaan desa. Idealisme kami meluap, seolah kami pinih satu-satunya harapan bagi desa ini.
Minggu pertama berjalan lancar. Kami semangat, mengangkut batu, mencampur semen, dan berinteraksi dengan warga. Tapi, masalah mulai muncul di minggu kedua. Sita frustasi karena material yang dibeli tak sesuai spesifikasi. Dina sakit perut karena air yang kurang bersih, dan Gilang jatuh terpeleset saat mengangkut kayu.
"Kenapa rasanya semua gak berjalan sesuai rencana?" keluh Sita suatu malam.
"Mungkin kita terlalu idealis," jawabku.
Budi mencoba menenangkan, "Ini bukan tentang membangun gedung yang sempurna, tapi tentang prosesnya."
Tapi keraguan sudah terlanjur menyelimuti kami. Puncaknya, saat kami mengetahui bahwa sebagian besar warga justru lebih membutuhkan perbaikan irigasi sawah daripada perpustakaan. Mereka merasa proyek kami tidak terlalu mendesak.
"Pak, kami dengar bapak-bapak butuh perbaikan saluran air, ya?" tanya Budi pada Pak Lurah.
Pak Lurah menghela napas. "Iya, Nak. Itu lebih penting. Kalau sawah gagal panen, anak-anak juga mana bisa sekolah?"