Arka menatap peta kumal di tangannya, matanya berbinar penuh rasa penasaran. "Ini... ini peta harta karun, Bima!" serunya, suaranya bergetar.
Bima, yang sedang asyik dengan buku komiknya, melirik sekilas. "Ah, jangan mengada-ada. Itu cuma peta tua yang kau temukan di loteng kakekmu."
"Tapi lihat ini!" Arka menunjuk sebuah simbol aneh di peta. "Ada tanda silang di sana, tepat di tengah hutan larangan. Kakek bilang, hutan itu menyimpan banyak rahasia."
Bima meletakkan bukunya dan mendekat. Matanya ikut memindai detail peta. Jantungnya berdebar kencang. Ia tahu, ajakan Arka selalu berujung pada petualangan yang tak terlupakan.
"Kau serius?" tanya Bima, mencoba menyembunyikan kegembiraannya.
"Sangat!" jawab Arka mantap. "Bagaimana? Mau ikut denganku?"
Meskipun sedikit takut, Bima tak bisa menolak. Persahabatan mereka dibangun di atas rasa ingin tahu yang besar dan keberanian yang tak kenal takut. "Tentu saja. Tunggu apa lagi? Ayo kita siapkan perbekalan!"
Keesokan harinya, mereka berdua sudah berada di tepi hutan larangan. Tas punggung mereka penuh dengan makanan, senter, dan sebotol air. Udara dingin langsung menusuk kulit saat mereka melangkah masuk.
Pohon-pohon raksasa menjulang tinggi, menutupi sinar matahari. Suara burung dan serangga berpadu menciptakan suasana yang magis sekaligus mencekam. Mereka mengikuti petunjuk di peta, melewati semak belukar dan bebatuan licin.
"Arahnya ke sana," kata Arka, menunjuk ke sebuah pohon beringin tua yang akarnya menjalar ke mana-mana.