Mohon tunggu...
Zaly
Zaly Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seseorang yang gemar menulis cerpen dan karya lainnya. bisa kunjungi akun instagram untuk lebih lanjut !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hutan Larangan

25 Agustus 2025   09:26 Diperbarui: 25 Agustus 2025   09:26 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aroma lembap tanah basah menusuk indra penciuman Rehan. Ranting-ranting kering berderak di bawah langkah kakinya yang berat. Matahari sudah lama tenggelam, digantikan rembulan pucat yang menembus celah pepohonan rindang. Rehan tahu ia sudah tersesat. Seharusnya ia sudah tiba di desa tetangga satu jam yang lalu. Namun, sejak ia memutuskan mengambil jalan pintas melalui Hutan Larangan, ia tak kunjung menemukan jalan keluar.

"Sial," gumamnya, mengusap peluh dingin di kening. "Kenapa aku harus sok berani, sih?"

Tiba-tiba, suara tawa anak kecil memecah kesunyian. Tawa itu terdengar riang, namun entah mengapa bulu kuduk Rehan meremang. Ia menoleh ke segala arah, tapi tak ada siapapun. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya halusinasi akibat kelelahan.

"Halo?" sapanya ragu. "Ada orang di sana?"

Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang mencekam. Namun, saat ia melangkah lagi, suara tawa itu kembali terdengar, kali ini lebih dekat, seolah-olah berada tepat di belakangnya. Rehan membalikkan badan dengan cepat. Sebuah bayangan hitam melesat di antara pohon-pohon. Jantungnya berdebar kencang. Ia mencoba berlari, tapi kakinya terasa berat, seperti terikat.

"Ayo main, Kak!" suara seorang anak kecil terdengar, suaranya melengking.

Rehan berhenti. Di depannya, berdiri seorang anak perempuan dengan gaun putih kusam. Wajahnya pucat pasi, matanya hitam cekung, dan senyumnya... senyumnya terukir sangat lebar hingga mencapai telinga. Rehan mundur selangkah, napasnya tercekat.

"Kamu siapa?" bisik Rehan.

Anak perempuan itu tidak menjawab. Ia hanya mengulurkan tangannya yang kurus.

"Ayo kita main petak umpet," ujarnya dengan suara yang serak. "Aku hitung sampai sepuluh, ya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun