Tetesan air dari keran yang bocor adalah satu-satunya suara yang memecah kesunyian di rumah tua itu. Rima menekan sakelar lampu, tapi hanya dengungan pelan yang terdengar tanpa ada cahaya yang menyala. Sudah seminggu ia tinggal di rumah warisan kakeknya ini, dan sudah seminggu pula ia merasa tidak sendirian.
Malam itu, Rima memutuskan untuk memeriksa ruang bawah tanah. Ia yakin, suara langkah kaki yang sering ia dengar berasal dari sana. Dengan senter di tangan, ia menuruni anak tangga kayu yang berderit. Aroma apek dan lembab menyambutnya. Sinar senter menari-nari di antara tumpukan barang-barang usang, menciptakan bayangan aneh di dinding.
Tiba-tiba, senternya berkedip-kedip lalu mati total. Jantung Rima berdebar kencang. Ia merogoh sakunya, mencari ponsel. Layarnya kosong, tidak ada sinyal sama sekali. "Sial," gumamnya pelan.
Dari ujung lorong, samar-samar ia melihat sebuah cahaya. Cahaya itu bergerak pelan, seolah ada yang memegang lilin. Rima memberanikan diri untuk mendekat. Saat ia semakin dekat, ia bisa melihat sosok seorang wanita. Rambutnya panjang terurai menutupi wajahnya, mengenakan gaun putih yang sudah kusam.
"Siapa di sana?" tanya Rima, suaranya bergetar.
Wanita itu tidak menjawab. Ia hanya terus berjalan menjauh, mengisyaratkan Rima untuk mengikutinya. Rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya. Ia mengikuti wanita itu hingga ke sebuah pintu kayu yang sudah lapuk. Pintu itu sedikit terbuka, memperlihatkan kegelapan yang lebih pekat di dalamnya.
Rima ragu sejenak. "Apa yang ada di balik pintu ini?" tanyanya lagi.
Tiba-tiba, suara wanita itu terdengar. Bukan dari depan, tapi dari belakangnya. Suaranya serak dan berbisik, "Dia menunggumu..."
Rima sontak berbalik. Wanita itu kini berdiri tepat di belakangnya. Wajahnya yang tertutup rambut kini terlihat jelas, matanya kosong dan bibirnya tersenyum lebar hingga ke telinga. Rima terperangah, kakinya terasa kaku.
"Kau... siapa?" tanya Rima terbata.