Mentari pagi menyapa Desa Harapan dengan sinarnya yang hangat. Di sebuah bangunan sederhana berdinding bambu, seorang guru muda bernama Risa tengah menata buku-buku lusuh di atas meja kayu. Debu beterbangan, namun semangat di mata Risa tak pudar. Ia baru saja ditempatkan di SD Inpres Harapan, sebuah sekolah dengan fasilitas serba terbatas.
"Selamat pagi, Bu Risa!" sapa seorang murid riang, diikuti beberapa anak lainnya yang berdatangan dengan seragam merah putih yang tampak pudar.
"Selamat pagi, anak-anak," balas Risa dengan senyum lebar. "Sudah siap belajar hari ini?"
"Siap, Bu!" jawab mereka serempak, meski beberapa tampak menguap karena harus berjalan kaki berkilo-kilo meter menuju sekolah.
Di tengah pelajaran Matematika, tiba-tiba listrik padam. Ruangan kelas menjadi gelap. Anak-anak mulai berbisik-bisik.
"Aduh, gelap, Bu," keluh seorang anak.
Risa tidak panik. Ia segera membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa lilin dan korek api. Dengan hati-hati, ia menyalakan lilin dan menempatkannya di beberapa sudut ruangan. Cahaya remang-remang menerangi wajah-wajah kecil yang penuh rasa ingin tahu.
"Nah, begini lebih baik, kan?" kata Risa sambil tersenyum. "Meskipun gelap, kita tidak boleh berhenti belajar. Kita masih bisa melanjutkan pelajaran dengan cahaya lilin ini. Dulu, sebelum ada listrik, orang-orang juga belajar dengan penerangan seadanya."
Seorang anak bertanya, "Tapi, Bu, bagaimana kalau lilinnya habis?"
"Kalau lilinnya habis, kita akan belajar dengan cahaya dari jendela," jawab Risa bijak. "Yang penting, semangat kita untuk belajar tidak boleh habis."