Ketakutan yang Diwariskan: Ironi Demokrasi dalam Bayang-Bayang Stigmatisasi
Oleh: Amir Hamzah
Indonesia sebagai negara demokrasi telah menempatkan kebebasan berekspresi, berpendapat, dan beragama sebagai bagian dari hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi. Namun, dalam praktik sosial dan politik hari ini, muncul sebuah ironi: ketakutan kolektif yang justru ditanam dan diwariskan oleh tokoh-tokoh agama, pejabat negara, serta figur publik terhadap kelompok-kelompok tertentu, seperti mereka yang dituduh berafiliasi dengan gerakan Wahabi, HTI, atau dianggap "anti-Pancasila".
Alih-alih membimbing masyarakat dengan semangat dialogis dan menjunjung nilai kebhinekaan, sebagian besar tokoh ini justru membangun narasi ancaman, menciptakan musuh bersama dari perbedaan pilihan ideologis dan ekspresi keberagamaan. Generasi muda yang mestinya tumbuh dalam semangat berpikir kritis dan bebas, justru dicekoki rasa takut, curiga, dan kebencian terhadap pihak-pihak yang berpandangan berbeda. Lalu, bagaimana mungkin demokrasi dapat tumbuh subur dalam suasana psikis yang represif dan sarat stigmatisasi?
Politik Ketakutan dan Warisan Trauma Sosial
Michel Foucault pernah mengulas bahwa kekuasaan modern tidak lagi mengandalkan represi fisik, tetapi bekerja melalui produksi wacana dan normalisasi. Dalam konteks ini, stigmatisasi terhadap kelompok tertentu merupakan strategi kuasa untuk membentuk opini publik dan menjaga status quo. Negara bersama elite moralnya memainkan peran dalam menyaring mana ekspresi yang dianggap "aman" dan mana yang dianggap "mengancam". Ketika negara dan tokoh-tokoh publik terus-menerus menegaskan bahwa Wahabi, HTI, atau paham "anti-Pancasila" adalah ancaman, mereka sedang mereproduksi ketakutan yang sistematis, bahkan diwariskan dari generasi ke generasi.
Masalahnya bukan terletak pada kritik terhadap ideologi tertentu, melainkan pada cara otoritas memperlakukannya. Setiap bentuk perbedaan langsung dikaitkan dengan makar, radikalisme, atau ekstremisme, tanpa ruang klarifikasi, dialog, dan pemaknaan ulang. Ini adalah bentuk kemunduran berpikir dalam sistem demokrasi yang mestinya menjunjung prinsip deliberatif dan partisipatif.
Demokrasi Bukan Tentang Ketakutan, Tapi Ruang untuk Pilihan
Demokrasi tidak menjanjikan keseragaman, melainkan menjamin keragaman dalam bingkai hukum dan etika bersama. Kebebasan berekspresi dan berkeyakinan seharusnya menjadi hak yang dijaga, bukan dikekang dengan dalih keamanan negara atau ketertiban umum. Ketika masyarakat diberi kebebasan untuk berpikir, memilih, dan menjalankan nilai-nilai hidupnya---termasuk dalam hal keyakinan dan ideologi---maka di situlah demokrasi bekerja dengan sehat.
Ketakutan yang berlebihan terhadap Wahabi atau HTI tidak akan membangun imunitas sosial, justru menciptakan trauma kolektif dan pengucilan sistematis. Yang seharusnya dilakukan adalah memberikan ruang kritis dan edukatif untuk mengkaji segala bentuk pemikiran secara rasional dan terbuka. Masyarakat mestinya diajak untuk berdialog, bukan dicekam oleh narasi tunggal yang membingkai perbedaan sebagai musuh.
Yang Kita Butuhkan: Kesadaran Kritis dan Ruang Dialog