Mohon tunggu...
Alpaprana
Alpaprana Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Jika arwah sang penyair, dan setumpuk kesedihan pecinta sastra mengalir di urat nadi, maka ijinkanlah aku mencumbui setiap mata yang membaca rangkaian kalam rahsa alpaprana (aksara biasa), sampai terbenamnya bahasa penaku di keabadian sulbi makhluk berkulit tanah, sebelum tiupan sangkakala memanggil, menyentuh udara kiamat, hingga membangunkan seisi jagad raya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerita di Tanah Jiwa Sang Pemuisi

21 Desember 2016   15:13 Diperbarui: 21 Desember 2016   15:25 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

di musim kesunyian

hijau alam yang diusap kulit tanganpun basah bernanahan.

 

Nimas, adakah sempurna senja di balik ambuwaha kurawan?

 

Adalah kita yang terus berharap

menahan riuh lara langit Tuhan

bahkan nada-nada monolog merdu tertangkap pada telinga

kala sajak rahsaku memanen rona hujan-hujan kecil

yang entah disengaja tak kunjung reda

pun senja semakin merah di kedalaman mata.

 

21122016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun