Biarlah ceritaku tereja sebagai sajak sunyi, Nimas
walau merujuk kesiaan usia
masih angin waktu ku-lirik hampa lirih
agar pandangmu menemu sirnaku
pada retak-retak filantropi di tanah jiwa sang pemuisi
dan semoga tiada sesak ruang paru-mu
terlebih iba, hingga mampu menggenang air mata.
Â
Kemari, dan saksikanlah katastrofa dari sebingkai prolog senja
yang telah mengikat naskah gelebah kita
di mana suara diksi tumbuh bagai Mawar liar
utuh durinya terasah tajam
dan khatam mencari tangis di sepanjang jalan awam.
Â
Sesiang lalu, napasku pulas di pangkuan bumi, Nimas
hingga terasa kebenaran pralaya
menunggu, menegurku,
lalu membenamkan napasku dalam gersang keringat lamunan.
Â
Sekarang, katakanlah
bahwa ceritaku tidak menyakitkan
sebab hitam-putih filantropi berjatuhan
di musim kesunyian
hijau alam yang diusap kulit tanganpun basah bernanahan.
Â
Nimas, adakah sempurna senja di balik ambuwaha kurawan?
Â
Adalah kita yang terus berharap
menahan riuh lara langit Tuhan
bahkan nada-nada monolog merdu tertangkap pada telinga
kala sajak rahsaku memanen rona hujan-hujan kecil
yang entah disengaja tak kunjung reda
pun senja semakin merah di kedalaman mata.
Â
21122016