Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (6) Ditinggal di Tiflis!

2 Desember 2020   09:09 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:38 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (5) Beasiswa PHP!

****

Keesokan harinya, sebuah kereta kuda sudah menunggu di depan losmen. Kereta yang akan membawa Soso dan Mak Keke kembali ke Gori. Setelah menyelesaikan urusan dengan pemilik losmen, Mak Keke menyuruh Soso naik ke atas kereta. Jelas kusirnya bukan yang kemarin, tapi kayaknya sih sama-sama orang Armenia. Soso sudah sedikit kehilangan minat untuk ngobrol, mungkin karena sedikit kecewa nggak jadi sekolah. Ia duduk di sebelah ibunya dan diam, hanya matanya saja yang liar menyusuri pemandangan sepanjang jalan.

Satu hal yang disadari Soso kemudian adalah, kereta itu tak mengambil jalur yang sama dengan saat kedatangannya. Tak menyeberangi dulu Sungai Kura, tapi malah ke timur lalu ke selatan menyusuri pinggiran Sungai Kora. “Kita mau kemana Mak?” tanya Soso.

“Cari sodara Bapakmu dulu.. nanti baru balik ke Gori…” jawab Mak Keke.

“Cari sodara Bapak atau nyariin Bapak?” goda Soso. Mak Keke mendelik, Soso pun memilih diam, emaknya lagi sensitif, nggak bisa dibercandain.

Setelah sekian waktu, kereta kuda berhenti. Pak Kusir menunjuk sebuah bangunan pada Mak Keke. Mak Keke turun dari kereta, “Kau tunggu di sini!” katanya pada Soso. Soso hanya mengangguk.

“Bangunan apa itu, Pak?” tanya Soso pada Pak Kusir.

“Pabrik sepatu Adelkhanov!” jawab Pak Kusir dengan bahasa Georgia yang logatnya aneh, mirip Pak Kusir yang kemarin, mungkin sama-sama orang Armenia.

“Pabrik sepatu?” Soso menatap gedung yang cukup besar itu, tapi ingatannya melayang pada satu sosok, bapaknya. Samar, ia pernah mendengar Pak Beso zaman masih bujangan kerja di pabrik sepatu di Tiflis sebelum akhirnya menikah, menetap di Gori, dan membuka usaha sepatunya sendiri. Jangan-jangan bapaknya balik lagi ke Tiflis dan kerja lagi di situ. Sudah lama ia tak melihat bapaknya. Dulu, meski sudah diusir Mak Keke, Pak Beso masih sering nyuri-nyuri datang ke rumah untuk nyari makanan. Dan Soso membiarkannya saja meski ia tahu bapak dan ibunya sedang tak akur. Tapi lama setelah itu, bapaknya tak pernah muncul lagi. Entah masih di Gori, atau jangan-jangan, balik ke sini. 

Lama pula Mak Keke meninggalkan kereta. Soso mulai gelisah. Ia turun dari kereta. Tapi tak berapa lama Mak Keke keluar dari gedung itu bersama seorang lelaki setengah baya berperut buncit, kulitnya tampak pucat seolah tak pernah terkena sinar matahari. Mak Keke melambaikan tangan pada Soso. Soso berjalan mendekatinya. “Ini Joseph, anakku…” kata Mak Keke pada lelaki itu.

Lelaki itu memperhatikan Soso dari kepala sampai kaki sambil bergumam tak jelas. “Berapa umurnya?” tanyanya.

“Limabelas…” jawab Mak Keke.

“Ia sekacau bapaknya?” tanya lelaki itu.

“Tidak. Dia rajin…” tukas Mak Keke.

“Mmmm…” lelaki itu bergumam lagi, “Tak ada posisi untuknya. Mungkin sementara jadi pelayan pekerja lain, mengambilkan bahan dan lain-lain…” kata lelaki itu.

“Tak apa…” kata Mak Keke. Soso sendiri mulai menebak-nebak.

“Paling dua kopeck sehari… tinggi-tingginya tiga…” kata lelaki itu lagi.

“Tak apa…” kata Mak Keke lagi.

“Ya sudah… suruh dia tunggu sampai aku selesai kerja!” kata lelaki itu sambil meninggalkan Mak Keke dan Soso.

“Siapa dia Mak?” tanya Soso.

“Jacob Tsereteli… kawan ayahmu dulu. Sekarang dia sudah jadi mandor, padahal bapakmu dulu lebih dulu kerja di sini…” jawab Mak Keke.

“Terus?” tanya Soso.

“Kau diterima kerja di sini…” jawab Mak Keke.

Soso melongo.

“So… daripada kamu balik ke Gori, lebih baik kamu di sini, kerja…” kata Mak Keke kemudian. “Pak Sese akan menampungmu, memberimu kamar di rumahnya, dan kau kerja di sini, di pabrik ini, tempat ayahmu dulu kerja….” lanjutnya. “Kau nggak usah mikir soal makan dan lain-lain, Mak sudah titipkan pada Pak Sese. Kalau ada keperluan, kau bisa ngomong langsung sama dia. Kalau dapat upah, simpan saja, beli buku, belajar bahasa Rusia, atau apa… sementara Mak pulang dulu, cari duit, siapa tau ada rezeki buat masuk sekolah itu…”

Soso menghela nafas, keputusan Mak Keke itu terasa nggak adil, sepihak, sama seperti soal sekolah dan lain-lain. Tapi mau apa? Lagian kalau dipikir lagi, nggak ada salahnya juga kerja di sini, daripada balik ke Gori.

“Terus?” tanya Soso.

“Kau ambil barang-barangmu di kereta, tungguin Pak Sese selesai kerja. Turutin apa yang dia katakan…” kata Mak Keke lagi.

“Emak?” tanya Soso lagi.

“Aku ya pulang ke Gori. Ngapain di sini lama-lama…” jawab Mak Keke. “Jangan khawatir, Mak akan berkirim kabar kalau Romo Chark atau ada orang kampung yang ke Tiflis… Kalau ada rezeki kutitipkan duit juga buatmu, barang sekopek-seabazi.. Kau juga, jangan lupa berkirim surat…”

“Sekarang Mak pulangnya?” tanya Soso.

“Taun depan!” kata Mak Keke sebel, “Ya iyalah sekarang, nggak liat tuh kusir udah mendelak-mendelik terus…”

“Kok mendadak banget sih Mak?” Soso merajuk…

Plan B!” jawab Mak Keke, “Yang penting kamu di sini dulu, persiapan buat sekolah nanti!”

Soso garuk-garuk kepala.

“Jangan bengong, ambil barang-barangmu!”

Soso mengikuti Mak Keke yang berjalan menuju kereta. Ia menurunkan tas berisi barang-barangnya. Mak Keke memberinya buntelan kain kecil, “Nih, buat bekal kamu. Jangan dipake beli yang aneh-aneh, jangan coba-coba mabok kayak bapakmu, jangan coba-coba main perempuan! Beli buku, alat tulis, bayar guru privat, atau apalah, yang penting berguna!” kata Mak Keke.

Soso menerimanya sambil bengong.

“Ya udah, tunggu Pak Sese sono.. Mak mau jalan!” kata Mak Keke.

“Mak…” kata Soso, suaranya tertahan…

“Gak usah pake mewek… malu, udah mau brewokan!” kata Mak Keke lagi sambil memberi kode pada Pak Kusir agar menjalankan keretanya. Dan kereta itupun berjalan meninggalkan Soso yang masih termagu. Mak Keke bahkan tak meliriknya lagi.

Kok kayak anak kucing dibuang di pinggir jalan ya… bathin Soso. Meski rada-rada shock, Soso sama sekali tak sepenuhnya menolak hal itu. Toh ia juga males balik ke Gori. Ia juga tahu, Mak Keke mengambil keputusan itu mungkin dengan pertimbangan yang baik, cuma ya gitu, bikin kaget, dan nggak disangka-sangka. Soal Mak Keke yang buru-buru tanpa perpisahan yang layak itu, Soso juga ngerti, Mak Keke sudah membayar kereta, nggak mungkin membatalkannya karena itu bukan uang yang sedikit.

*****

Sepeninggal Mak Keke Soso menjinjing tasnya kembali mendekati bangunan pabrik itu. Hanya saja, karena ia tak bisa melongok ke dalam, ia lalu memilih untuk mendekati bagian kiri bangunan yang dekat dengan Sungai Kura itu. Lahannya penuh dengan semak pohon anggur liar, dan nyaris di tepian sungai yang landai, tumbuh sebatang pohon juniper yang menyendiri. Soso berjalan mendekati pohon itu, lalu duduk di bawahnya. Lumayan teduh dan adem. Pandangan Soso menerawang ke seberang sungai, bagian elit kota Tiflis terlihat jelas dari situ. “Rupanya kita berjodoh…” bathin Soso, seolah ngobrol dengan kota itu. “Hanya saja aku tinggal bukan sebagai pelajar, calon pendeta, tapi buruh pabrik sepatu… Jangan-jangan nasibku akan seperti Bapak, menjadi tukang sepatu, frustasi, mabok.. ah…”

Soso jadi teringat saat pertama kalinya ia mabok karena minuman. Saat itu usianya sepuluh tahunan. 

Yuri, anak Pak Koba, pegulat yang punya losmen dan kedai minum datang menemui Soso. Ia bersama dengan dua temannya, Josef Iremashvili yang biasa dipanggil Seva, dan Josef Davrichewy yang di rumahnya juga dipanggil Soso, tapi di luar dipanggai Devo oleh teman-temannya, terutama untuk membedakan dengan Soso. Devo yang usianya setahun di bawah Soso adalah anak Pak Damian Davrichewy, anggota polisi di Gori. Soal bandel, Soso dan Devo nyaris setara, hanya saja Devo kalah nekat dari Soso. Kalau ketemu Geng Sotoy, ia memilih kabur. Soalnya mereka pernah berantem, dan pulangnya Devo dihajar habis-habisan sama bapaknya.

Yuri memanggilnya agar Soso mendekatinya. Dari balik bajunya, ia mengeluarkan sebuah botol. “Aku mencuri anggur dari kedai Bapak…” kata Yuri dengan berbisik.

“Anggur apa chacha?” tanya Soso yang tahu bedanya minuman mahal dengan minuman murahan, meski ia sendiri tak tahu bagaimana membedakan keduanya.

“Anggur lah, masak aku nyolong chacha…” jawab Yuri yakin. “Kau belum pernah nyoba kan?” tanyanya.

Soso menggeleng. “Ayo, masuk rumahku, kita minum…” katanya.

“Eeeh jangan…” Devo menimpali, “Kalau ketahuan ibumu, terus lapor Bapakku, habis aku…”

Soso nyengir.

“Kita ke Uplistsikhe saja. Di sana aman, kalau pusing-pusing sedikit nggak bakalan ada orang tahu…” kata Devo.

“Memangnya kalau minum itu bisa pusing?” tanya Seva polos.

“Iya lah… kalau banyak bisa mabok…” jawab Yuri, “Apalagi kalau minum chacha…”

Setelah sepakat, berangkatlah anak-anak yang dikenal dengan sebutan Geng Kura itu. Sebutan itu sebetulnya diberikan oleh Geng Volga yang oleh mereka disebut Geng Sotoy. Tapi Soso dan kawan-kawan tak pernah memberi nama kelompoknya sendiri, bahkan mereka tidak merasa sebagai geng yang kemana-mana selalu bersamaan.

Tujuan mereka adalah Benteng Uplistsikhe yang jaraknya sebetulnya cukup jauh, sekitar tujuh atau delapan kilometer dari rumah Soso, perlu setidaknya dua jam berjalan kaki ke arah barat menyusuri tepian Sungai Kura. Tapi namanya anak-anak dan punya niat bersenang-senang, jarak segitu bukan lagi halangan.

Benteng Uplistikhe terletak di perbukitan batu, menghadap ke arah sungai. Konon dulunya itu adalah perkampungan batu. Orang-orang membuat rumah dengan cara membuat gua pada bebatuannya. Ada juga yang menyebut gua itu adalah tempat peribadatan kaum pagan, kepercayaan pra-Kristen. Setelah agama Kristen masuk, di atas puncak bukit –di atas gua-gua itu dibangun sebuah biara, Basilika Christina. Ketika kerajaan Kartli –sebelum bergabung dengan Kakheti dan Imereti menjadi cikal bakal Georgia—diserang oleh pasukan Muslim, Uplistsikhe dijadikan benteng pertahanan, meski gagal, karena Kartli dan Kakheti akhirnya dikuasai oleh Persia. Tapi kisah Uplistikhe berakhir pada abad ke-14 ketika pasukan Mongol dari utara menyerangnya dan memporak-porandakannya. Pemukiman itu benar-benar ditinggalkan, dan Basilika Christina hanya tinggal puing-puingnya saja. Sejak itu, Uplstsikhe jadi kota mati, hanya dikunjungi orang sesekali, bahkan pernah dijadikan sarang penyamun karena letaknya tak jauh dari jalan utama Gori ke Tiflis.

Layaknya para penyamun itu, Soso dan kawan-kawan juga menjadikan Uplistsikhe sebagai tempat bermain dan bersembunyi kalau mereka berniat melakukan sesuatu yang nyeleneh. Sebelumnya, mereka pernah ke sini untuk mencoba merokok. Devo membawa cangklong bapaknya, dan Yuri mencuri tembakau dari kedai bapaknya. Waktu itu lebih rame, selain mereka berempat, juga ikut Peter Kapanadze alias si Peta, dan Giori Elisabedashvili alias si Gigi. Tapi dua anak itu makin ke sini makin jarang ikut, mungkin sudah pada kapok dihajar orangtuanya masing-masing.

Sampai di Uplistsikhe, empat anak itu duduk di depan sebuah pintu gua, tak jauh dari reruntuhan Basilika Christina. Tak ada orang di sekitar situ, mungkin karena sudah menjelang sore. Kalau pagi sampai siang, mereka sering bertemu dengan penggembala kambing yang mengaso. Kadang ada juga orang yang pulang menangkap ikan dari Sungai Kura, kebetulan di depan benteng ada empat pulau kecil di tengah sungai. Di jalur sungai antara pulau-pulau kecil itulah mereka menjaring ikan, lebih mudah tapi berbahaya arusnya. Soso pengen banget nyoba mancing di situ, tapi ia takut kalau harus memancing sendirian, jadi nggak pernah terlaksana.

Setelah duduk berkeliling, Yuri mengeluarkan botol yang dibawanya. Ia membuka sumbat kayu, lalu menghirup aromanya dan tersenyum lebar, “Enak sekali baunya…” katanya. Devo merebutnya dan ikut menghirup aromanya, lalu Seva dan Soso.

“Kayaknya bukan bau anggur, tapi bau chacha…” kata Soso.

“Sotoy ah… darimana kamu tau?” tanya Yuri. Sebagai ‘pemilik’ barang, ia agak tersinggung dengan omongan Soso.

“Kalau bapakku minum anggur, baunya nggak kayak gitu…” jawab Soso. “Itu bau kalau bapakku mabok berat, biasanya kalau dia minum chacha!”

“Ya enggak lah...” kata Yuri lagi, “Anggur sama chacha kan bahannya sama, jadi baunya sama. Kata orang rasanya saja yang beda…”

“Bedanya apa?” tanya Seva.

“Anggur lebih manis, dan chacha lebih pahit…” jawab Yuri.

“Kata orang?” tanya Seva lagi.

Yuri mengangguk.

“Ya sudah, kau minum lah dulu, kan itu punyamu…” kata Devo.

Yuri tampak ragu. “Kalau kita mabok gimana?” tanyanya.

“Lah, katanya yang kamu bawa anggur, maboknya dikit.. cuma pusing doang…” kata Deva.

“Tapi beneran ya, kalian ikut minum…” kata Yuri. Semuanya mengangguk. Yuri lalu menenggaknya sedikit. Ia tampak berusaha menahan rasa aneh dan panas yang menjalar di kerongkongannya. Buru-buru ia menyerahkannya pada Soso. Soso juga begitu. Ia segera menyerahkannya kepada Seva, lalu Devo. Balik lagi ke Yuri… dan terus berputar. Meski makin merasa tak nyaman, tak ada seorang pun yang berhenti. Botol terus berkeliling. Sampai akhirnya Seva bangkit, terhuyung, dan muntah di pinggir tebing. Yuri tidak bergerak, bersandar di pintu goa.

Tinggal Soso dan Devo yang tertawa terbahak-bahak, meski kepala mereka terasa berat luarbiasa.

Habis itu? Soso hanya tahu ia sudah berada di rumah. Kaki kirinya dibebat kain dan kayu penyangga. Kabarnya, dia terguling dua undakan atau lebih dari sepuluh meter dan menghantam batu. Seorang pemancing yang menemukan mereka keesokan harinya!

*****

BERSAMBUNG: (7) Buruh Pabrik Sepatu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun