“Taun depan!” kata Mak Keke sebel, “Ya iyalah sekarang, nggak liat tuh kusir udah mendelak-mendelik terus…”
“Kok mendadak banget sih Mak?” Soso merajuk…
“Plan B!” jawab Mak Keke, “Yang penting kamu di sini dulu, persiapan buat sekolah nanti!”
Soso garuk-garuk kepala.
“Jangan bengong, ambil barang-barangmu!”
Soso mengikuti Mak Keke yang berjalan menuju kereta. Ia menurunkan tas berisi barang-barangnya. Mak Keke memberinya buntelan kain kecil, “Nih, buat bekal kamu. Jangan dipake beli yang aneh-aneh, jangan coba-coba mabok kayak bapakmu, jangan coba-coba main perempuan! Beli buku, alat tulis, bayar guru privat, atau apalah, yang penting berguna!” kata Mak Keke.
Soso menerimanya sambil bengong.
“Ya udah, tunggu Pak Sese sono.. Mak mau jalan!” kata Mak Keke.
“Mak…” kata Soso, suaranya tertahan…
“Gak usah pake mewek… malu, udah mau brewokan!” kata Mak Keke lagi sambil memberi kode pada Pak Kusir agar menjalankan keretanya. Dan kereta itupun berjalan meninggalkan Soso yang masih termagu. Mak Keke bahkan tak meliriknya lagi.
Kok kayak anak kucing dibuang di pinggir jalan ya… bathin Soso. Meski rada-rada shock, Soso sama sekali tak sepenuhnya menolak hal itu. Toh ia juga males balik ke Gori. Ia juga tahu, Mak Keke mengambil keputusan itu mungkin dengan pertimbangan yang baik, cuma ya gitu, bikin kaget, dan nggak disangka-sangka. Soal Mak Keke yang buru-buru tanpa perpisahan yang layak itu, Soso juga ngerti, Mak Keke sudah membayar kereta, nggak mungkin membatalkannya karena itu bukan uang yang sedikit.