Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

KEKUASAAN KATA [3]: Menulis sebagai Jalan Penyembuhan, Pelayanan, dan Pertemuan Jiwa

17 September 2025   15:00 Diperbarui: 17 September 2025   12:46 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

KEKUASAAN KATA [3]: Menulis Sebagai Jalan Penyembuhan, Pelayanan, dan Pertemuan Jiwa

Saya tak pernah bermimpi jadi penulis.
Saya hanya pernah bermimpi jadi imam,
namun "kandas" di tengah tanjakan sebelum masuk tikungan terakhir
sebelum mengikrarkan janji abadi.
Saya tak pernah bermimpi jadi guru.
Saya tak pernah ingin jadi pelatih.
Saya bahkan tak pernah merasa cukup pintar untuk mengajari siapa-siapa.

Tapi hidup punya cara sendiri untuk menempatkan kita di tempat yang tak pernah kita rencanakan, bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai pelayan. Bukan sebagai bintang, tapi sebagai jembatan.

Dan di situlah saya menemukan kekuasaan kata yang paling dalam: ketika kata-kata tak lagi untuk dipamerkan, tapi untuk dibagikan. Ketika menulis tak lagi untuk diri sendiri, tapi untuk menyembuhkan: diri sendiri, dan orang lain.

Memberi Pelatihan: Bukan Mengajar, Tapi Belajar Bersama

Setiap kali saya memegang mikrofon di depan ruangan pelatihan (entah di aula paroki atau keuskupan, atau di ruang kelas yang sumpek, atau lewat zoom dengan koneksi yang naik-turun, saya selalu mulai dengan kalimat yang sama:

"Saya bukan guru. Saya hanya teman yang sedikit lebih dulu jatuh, lalu bangkit, dan mencatat bagaimana rasanya."

Pelatihan menulis, bagi saya, bukan tentang teori atau teknik sempurna. Ini tentang keberanian. Keberanian untuk jujur. Keberanian untuk menangis di depan paragraf. Keberanian untuk mengakui: "Aku belum bisa, tapi aku mau mencoba."

[Pernah dalam pelatihan menulis yang diselenggarakan oleh Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias, ada peserta yang dengan yakin mengatakan dia tidak bisa menulis, selain menulis kas bon. Panjang kali lebar kami berdiskusi, sebelum akhirnya saya memintanya untuk menuliskan kembali keluhannya tadi ke kertas atau laptopnya. Tidak sampai lima belas menit, dia sudah selesai mencatat kembali pembicaraan kami. Saya hanya meyakinkannya, tidak ada yang tidak mungkin jika kita tidak pernah berusaha. Setelah pelatihan -dengan memberi tugas menulis selama dua minggu- dia bisa menyelesaikan tulisannya bahkan menjadi sangat indah dan layak dibaca orang lain. Jangan pernah mengeluh sebelum mencoba]

Saya sering jadi fasilitator cadangan, karena tugas utama saya adalah menyelesaikan semua hasil pelatihan menjadi sebuah buku. Kadang saya menjadi pelatih tunggal. Tapi yang utama adalah hati yang percaya bahwa menulis bisa jadi terapi, bisa jadi doa, bisa jadi jalan pulang.

Dan setiap kali selesai, saya selalu pulang dengan sesuatu yang tak bisa dibeli: cerita-cerita kecil yang disembunyikan di balik senyum peserta. Ada yang menulis tentang ibunya yang sudah tiada. Ada yang menulis surat maaf untuk dirinya sendiri. Ada yang pertama kali menangis setelah bertahun-tahun membekukan hati. Ada yang bisa mencairkan hubungan dengan ibunya setelah sang ibu membaca tulisannya. Ada yang bisa berdamai dengan diri setelah sekian puluh tahun merasa diri sebagai pembunuh hanya karena pernah mengalami kecelakaan mobil dan beberapa penumpang (yang adalah keluarga dekatnya) meninggal. Ia divonis sebagai pembunuh. Namun dengan menulis vonis itu bisa diterimanya dengan lapang hati.

Saya tak mengajar mereka menulis.
Saya hanya membuka pintu, lalu mereka yang masuk, dengan luka dan cahaya masing-masing. Membiarkan mereka mencari apapun di dalam "rumah/ruang diri" dan mengeksplorasinya menjadi kata. Dan kata itu menjadi diagnosa atau resep bagi diri sendiri.

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Menjejalkan Hasilnya dalam Buku: Jejak yang Tak Bisa Dihapus

Setelah pelatihan, kami tak berpisah begitu saja. Kami mengumpulkan tulisan-tulisan itu, tulisan mentah, tulisan yang masih berdarah, tulisan yang masih gemetaran sehingga masih belum bisa berdiri dengan stabil, lalu menyusunnya jadi buku.

Bukan buku bestseller.
Bukan buku yang akan dipajang di toko besar.
Tapi buku yang akan disimpan di rak pribadi, dibaca ulang saat malam sepi, atau dihadiahkan ke orang yang paling dicintai. Biarkan mereka masuk dan membaca ruang batin kita yang tertulis itu.

Saya percaya: buku adalah bentuk penghormatan tertinggi atas sebuah proses. Ia tak hanya menyimpan kata: ia menyimpan napas, air mata, tawa, dan keberanian yang pernah lahir dalam ruang pelatihan itu bahkan di medan pertempuran diri sendiri yang pelit.

Judul tulisan mereka kadang sederhana, namun membekas, bukan di jalan setapak atau di aspal yang kepanasan, tetapi di relung hatinya sendiri:
"Aku Belajar Bernapas Lewat Kata"
"Dari Retak Jadi Cahaya"
"Surat-Surat yang Tak Dikirim, Tapi Disembuhkan"

Dan aneka judul lain yang sarat makna, kadang penuh luka, ada yang sudah mengering luarnya namun masih bernanah di dalamnya, ada yang baru tergores. Semua punya kisahnya sendiri, yang setelah dirangkai menjadi kasih yang menguatkan.

Dan setiap kali buku itu terbit (meski cetakannya cuma 100-500 eksemplar) saya merasa seperti menyaksikan keajaiban kecil: orang-orang biasa yang akhirnya berani mengatakan: "Ini aku. Ini ceritaku. Aku ada."

Menjadi Editor Tunggal: Gratis, Tanpa Pamrih, Tanpa Tanda Jasa

Saya sering menjadi editor dalam pelatihan. (Tentu beda dengan yang menjadi kerjaan saya).
Bukan editor profesional yang bayarannya per kata, meski saya editor berlisensi dan lolos sertifikasi.
Tapi editor yang rela begadang demi memperhalus kalimat seorang ibu yang baru belajar menulis setelah pensiun.
Editor yang rela mengulang baca sepuluh kali demi memastikan nada tulisan seorang remaja tak kehilangan keasliannya.

Saya lakukan itu gratis, [kecuali yang diterbitkan secara tunggal untuk kepentingan pasar yang lebih luas. Kalau itu ada perhitungan profesional.]
Bukan karena saya kaya waktu.
Tapi karena saya tahu: di balik setiap naskah yang kacau, ada jiwa yang sedang berusaha rapi.

Saya tak pernah minta nama dicantumkan di sampul, tapi demi tuntutan profesi dan bisa mendapatkan ISBN perlu ada yang bertanggung jawab atas isi di dalamnya. Kadang saya cukup jadi bayangan yang hadir saat dibutuhkan, lalu menghilang saat tugas selesai.

Karena ini bukan soal penonjolan diri.
Apalagi membanggakan diri.

Ini soal pelayanan.
Soal memberi diri.
Soal menjadi tangan tak terlihat yang membantu seseorang berdiri lebih tegak lewat tulisannya.

Saya belajar dari Romo Mangun: "Pelayanan sejati tak butuh pengakuan. Ia cukup puas ketika yang dilayani bisa berjalan sendiri."

Menulis, Melatih, Mengedit, Menerbitkan, Jalan Mendekatkan Jiwa

Empat hal ini:  menulis, melatih, mengedit, menerbitkan bagi saya selain sebagai profesi juga sebagai spiritualitas. Ini doa bergerak. Ini meditasi yang bernapas.

Setiap kali saya menulis, saya mendekat pada diri sendiri.
Setiap kali saya melatih, saya mendekat pada sesama.
Setiap kali saya mengedit, saya mendekat pada kejujuran orang lain.
Dan setiap kali saya menerbitkan, saya mendekat pada keabadian karena buku adalah cara kita menitipkan jiwa pada masa depan.

Saya tak punya penerbitan besar. Hanya Bajawa Press kecil, sederhana, tapi punya hati yang luas. Di sini, kami tak mengejar royalti. Kami mengejar resonansi. Kami tak hitung untung rugi. Kami hitung: berapa hati yang tersentuh?

Penyembuhan yang Melingkar

Yang lucu (atau mungkin ajaib) adalah ini:
Saya awalnya mengira saya yang menyembuhkan peserta pelatihan lewat kata-kata.
Tapi ternyata, merekalah yang menyembuhkan saya.

Lewat keberanian mereka menulis tentang trauma, saya belajar memaafkan masa lalu saya.
Lewat kepolosan mereka dalam merangkai kata, saya belajar kembali mencintai proses, bukan hasil.
Lewat kepercayaan mereka menitipkan naskah, saya belajar bahwa kekuatan terbesar bukan pada kepintaran, tapi pada kerendahan hati.

Menulis menyembuhkan.
Mengajar menyembuhkan.
Mengedit menyembuhkan.
Menerbitkan (apalagi) menyembuhkan, karena ia adalah bentuk pengakuan: "Ceritamu layak diingat. Kau layak didengar."

Penutup: Kekuasaan Sejati Ada di Tangan yang Memberi

Saya tak tahu apakah yang saya lakukan ini akan diingat.
Tapi saya tahu: setiap kata yang saya bantu tumbuh, setiap naskah yang saya poles tanpa pamrih, setiap buku kecil yang lahir dari pelatihan sederhana, itu adalah batu-batu kecil yang saya letakkan di jalan orang lain.

Mungkin tak megah.
Mungkin tak viral.
Tapi cukup untuk membuat seseorang berkata:
"Aku bisa. Aku berani. Aku tidak sendiri."

Dan itu (bagi saya) adalah kekuasaan kata yang paling mulia.

Bukan kekuasaan untuk menguasai.
Tapi kekuasaan untuk memberi.
Untuk menyembuhkan.
Untuk menghadirkan.

 

Esok, saya akan kembali ke ruang pelatihan.
Mungkin lewat zoom. Mungkin di teras rumah.
Saya akan bawa laptop, secangkir kopi, dan hati yang siap menerima luka-luka indah dari peserta.
Lalu, bersama mereka, saya akan menulis bukan untuk terkenal,
tapi untuk saling mengingatkan:
kita manusia.
kita retak.
tapi kita bisa utuh, lewat kata-kata yang saling memeluk.

Saya menulis ini ketika murid saya satu-satunya di jam pelajaran ketiga dan ketujuh tidak berangkat sekolah.


Saya sadar bahwa kekuasaan sejati bukan di podium,
tapi di tangan yang rela memegang pena orang lain,
lalu membantunya menulis: "Aku ada. Aku berarti."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun