Saya tak mengajar mereka menulis.
Saya hanya membuka pintu, lalu mereka yang masuk, dengan luka dan cahaya masing-masing. Membiarkan mereka mencari apapun di dalam "rumah/ruang diri" dan mengeksplorasinya menjadi kata. Dan kata itu menjadi diagnosa atau resep bagi diri sendiri.
Menjejalkan Hasilnya dalam Buku: Jejak yang Tak Bisa Dihapus
Setelah pelatihan, kami tak berpisah begitu saja. Kami mengumpulkan tulisan-tulisan itu, tulisan mentah, tulisan yang masih berdarah, tulisan yang masih gemetaran sehingga masih belum bisa berdiri dengan stabil, lalu menyusunnya jadi buku.
Bukan buku bestseller.
Bukan buku yang akan dipajang di toko besar.
Tapi buku yang akan disimpan di rak pribadi, dibaca ulang saat malam sepi, atau dihadiahkan ke orang yang paling dicintai. Biarkan mereka masuk dan membaca ruang batin kita yang tertulis itu.
Saya percaya: buku adalah bentuk penghormatan tertinggi atas sebuah proses. Ia tak hanya menyimpan kata: ia menyimpan napas, air mata, tawa, dan keberanian yang pernah lahir dalam ruang pelatihan itu bahkan di medan pertempuran diri sendiri yang pelit.
Judul tulisan mereka kadang sederhana, namun membekas, bukan di jalan setapak atau di aspal yang kepanasan, tetapi di relung hatinya sendiri:
"Aku Belajar Bernapas Lewat Kata"
"Dari Retak Jadi Cahaya"
"Surat-Surat yang Tak Dikirim, Tapi Disembuhkan"
Dan aneka judul lain yang sarat makna, kadang penuh luka, ada yang sudah mengering luarnya namun masih bernanah di dalamnya, ada yang baru tergores. Semua punya kisahnya sendiri, yang setelah dirangkai menjadi kasih yang menguatkan.
Dan setiap kali buku itu terbit (meski cetakannya cuma 100-500 eksemplar) saya merasa seperti menyaksikan keajaiban kecil: orang-orang biasa yang akhirnya berani mengatakan: "Ini aku. Ini ceritaku. Aku ada."
Menjadi Editor Tunggal: Gratis, Tanpa Pamrih, Tanpa Tanda Jasa
Saya sering menjadi editor dalam pelatihan. (Tentu beda dengan yang menjadi kerjaan saya).
Bukan editor profesional yang bayarannya per kata, meski saya editor berlisensi dan lolos sertifikasi.
Tapi editor yang rela begadang demi memperhalus kalimat seorang ibu yang baru belajar menulis setelah pensiun.
Editor yang rela mengulang baca sepuluh kali demi memastikan nada tulisan seorang remaja tak kehilangan keasliannya.
Saya lakukan itu gratis, [kecuali yang diterbitkan secara tunggal untuk kepentingan pasar yang lebih luas. Kalau itu ada perhitungan profesional.]
Bukan karena saya kaya waktu.
Tapi karena saya tahu: di balik setiap naskah yang kacau, ada jiwa yang sedang berusaha rapi.
Saya tak pernah minta nama dicantumkan di sampul, tapi demi tuntutan profesi dan bisa mendapatkan ISBN perlu ada yang bertanggung jawab atas isi di dalamnya. Kadang saya cukup jadi bayangan yang hadir saat dibutuhkan, lalu menghilang saat tugas selesai.